16.53

Bersama Pemulung: Pengalaman Kuliah Kemiskinan

Pengalaman yang sungguh mengesankan karena baru pertama kali aku terjun langsung membaur bersama orang-orang yang "termarginalkan" di masyarakat selama ini. mereka adalah pemulung yang sekian lama selalu bergelut dengan sampah dan kotoran yang bau dan menjijikan. bagi kebanyakan tentu mereka adalah orang yang tidak penting untuk diperhatikan apalagi dikenal. namun setelah mengalami pengalaman mengenal kehidupan para pemulung di kawasan Putat (Dukuh Kupang) hatiku seolah menjadi tersentuh dengan potret kehidupan mereka yang sangat jauh dari kesejahteraan. nuraniku semakin pilu karena aku bisa mengamati langsung kegiatan mereka sehari-hari mulai pagi hingga malam sebab aku ikut tinggal selama 5 malam di kawasan perkampungan pemulung di Putat tersebut. betapa rasa empatiku bisa muncul dengan tiba-tiba, bertahun-tahun berkawan dengan sampah dan kotoran. namun disisi lain akupun merasa sangat bersyukur karena Allah Swt hingga hari ini masih senantiasa mencurahkan nikmat dan karuniaNya kepadaku tiada henti, setidaknya kehidupanku masih sedikit lebih baik daripada pemulung di Putat.
Pak Afif adalah salah seorang pemulung disana, dirinya telah 50 tahun melakoni profesinya sebagai pemulung. namun tidak nampak sedikitpun gurat kesedihan atau keluh kesah dari wajahnya. sungguh kesabaran telah menjalar ke darah daging Pak Afif. senyum ketabahannya selalu membuatku takjub dan malu, karena diri ini masih belum bisa mensyukuri dengan sepenuh hati hidup yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. dari lelaki tua itu, aku banyak mendapatkan pelajaran hidup, sesuatu yang tidak aku peroleh dari bangku kuliah, aku sama sekali tidak menyesal dengan semua ini, aku justru sangat bersyukur bisa mengalami momen yang sangat berharga ini. meskipun Pak Afif miskin secara materi namun dirinya kaya akan pelajaran hidup....

16.40

INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Kehidupan kelompok manusia merupakan kondisi yang esensil bagi lahirnya kesadaran, pikiran, dunia objek-objek manusia sebagai organisme yang memiliki selves dan kelakuan manusia dalam bentuk tindakan yang dibuat. Dalam tindakan social dan dalam proses social yang lebih umum terdapat mekanisme dasar yaitu gerak atau sikap isyarat (Gesture). Gesture adalah gerakan organisma pertama yang bertindak sebagai rangsangan khusus yang menimbulkan tanggapan (secara sosial) yang tepat dari organisma kedua. Baik binatang maupun manusia, mampu membuat isyarat dalam arti bahwa tindakan seorang individu tanpa pikir dan secara otomatis mendapatkan reaksi dari individu lain. Apa yang membedakan manusia dari binatang adalah kemampuannya menggunakan gerak isyarat yang signifikan atau yang memerlukan pemikiran di keduia belah pihak actor sebelum bereaksi.
Hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna.
Symbol signifikan adalah sejenis isyarat yang hanya dapat diciptakan manusia. Symbol yang menjawab makna yang dialami individu pertama dan yang mencari makna dalam individu kedua adalah “bahasa”. Melalui symbol sitgnifikan, manusia bisa berfikir. Pikiran merupakan proses percakapan sesorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan dalam diri individu. Sedangkan diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Diri mensyaratkan proses social: komunikasi antar manuisia. Diri berhubungan secara dialektis dengan pikiran. Diri pada dasarnya adalah proses social yang berlangsung dalam dua fase yang dapat dibedakan yaitu “I” dan “Me”. “I” adalah tanggapan spontan individu terhadap orang lain yang merupakan aspek kreatif yang tidak dapat diperhitungkan dan tak teramalkan dari diri. “Me” adalah penerimaan atas oramng lain yang dapat digeneralisir. Melalui “Me”-lah masyrakat menguasai individu. Control social sebagai keunggulan ekspresi “Me” diatas ekspresi “I”. Masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “Aku” (Me).
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.
Interaksi simbolis bertumpu pada :
1. manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu .
2. makna tersebut berasal dari “interaksi social seseorang dengan orang lain”.
3. makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi social berlangsung.
Blumer menyatakan actor memilih, memeriksa, mengelompokkan dan menstransformir makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya. Tindakan manusia bukan disebabbkan oleh beberapa “kekuatan luar” tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam”. Individu membentuk objek-objek itu, merancang objek-objek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Ini merupakan penafsiran atau bertindak berdasarkan simbol-simbol.
Demikian manusia merupakan actor yang sadar dan reflektif. Selfr-indication adalah ‘proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut”. Tindakan manusia penuh dengan penafsiran dan pengertian.

16.39

TEORI HABITUS BOURDIEU

Bourdieu dalam inti karya dan inti upayanya untuk menjebatani subjektivisme dan objektivisme, terletak pada konsepnya tentang habitus dan lingkungan dan hubungan dialektika antara keduanya. Sementara habitus ada didalam pikiran actor, lingkungan ada diluar pikiran mereka. Konsep habitus (kebiasaan) adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan actor untuk menghadapi kehidupan social. Actor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia social. Melalui pola-pola itulah actor memproduksitindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektika habitus adalah “produk internalisasi struktur” dunia social. Habitus mencerminkan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok, dan kelas social. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan social diduduki, jadi habitus akan berbeda-beda tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tak setiap orang sama kebiasaannya, orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan social cenderung memiliki kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Habitus memungkinkan orang memahami dunia social, tetapi dengan adanya banyak habitus berarti kehidupan social dan strukturnya tak dapat dipaksakan seragam kepada seluruh actor.1
Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode histories yang relative panjang: “habitus, yang merupakan produk histories menciptakan tindakan individu dan kolektif dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah.” Kebiasaan individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu dalam sejarah dunia social dimana kebiasaan itu terjadi. Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah dalam arti dapat dialihkan dari satu bidang ke bidang yang lain. Tetapi, ada kemungkinan bagi seseorang mempunyai habitus yang tak pantas dan menderita apa yang disebut Bourdieu sebagai hysteresis.
Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan social. Di satu pihak, habitus adalah “struktur yang menstruktur” artinya habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan social. Di lain pihak, habitus adalah “struktur yang terstruktur” yakni ia adalah struktur yang distrukturisasi oleh dunia social. Dengan kata lain Bourdieu melukiskan habitus sebagai “dialektika internalisasi dari eksternalitas dan eksternalisasi dari internalitas.”
Tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan social. Di satu pihak, habitus diciptakan melaui praktik (tindakan); dipihak lain, habitus adalah hasil tindakan yang diciptakan kehidupan social. Bourdieu mengungkapkan fungsi perantara tindakan ketika ia mendefinisikan habitus sebagai “system yang tertata tertuju pada…fungsi praktis.” Sementara tindakan atau praktik cenderung membentuk habitus. Habitus pada gilirannya berfungsi sebagai penyatu dan menghasilkan praktik atau tindakan.2
Walau habitus adalah sebuah struktur yang diinternalisasikan, yang mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan, namun habitus tidak menentukannya. Menurut Bourdieu, habitus semata-mata “mengusulkan” apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk dilakukan. Dalam menentukan pilihan, actor menggunakan pertimbangan mendalam berdasrkan kesadaran, meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dengan prinsip itu actor membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan social. Seperti yang dikatakan Bourdieu dan Wacquant, “orang tidaklah bodoh” namun orang juga tidaklah rasional sepenuhnya; actor bertindak menurut cara yang masuk akal. Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logika untuk apa orang bertindak dan itulah “logika tindakan.”3
Robbins mendukung pendapat yang menyatakan logika tindakan adalah “polithetic” yakni logika tindakan adalah kemampuan membenarkan secara serentak aneka ragam makna atau tesis yang bertentangan secara membingungkan dan secara logis (menurut logika formal) karena konteks yang menolak dari pelaksananya adalah tindakan.4 Pernyataan ini bukan hanya karena menekankan perbedaan antara logika praktis dan rasionalitas (logika formal), tetapi juga karena mengingatkan pada “relasionalisme” Bourdieu. Relasionalime dalam konteks ini penting karena menuntun untuk mengakui bahwa habitus bukanlah struktur yang tetap dan tidak dapat berubah, tetapi diadaptasi oleh individu yang secara konstans berubah dihadapn situasi yang saling bertentangan dimana mereka berada.
Habitus berfungsi “dibawah tingkat kesadaran dan bahasa, diluar jangkauan pengamatan dan pengendalian oleh kemampuan.” Meski tidak disadari habitus dan cara bekerjanya namun ia mewujudkan dirinya sendiri dalam aktivitas kita yang sangat praktis seperti cara kita makan, berjalan, berbicara dan bahkan dalam cara membuang ingus. Kebiasaan atau habitus ini berperan sebagai struktur, tetapi orang tidak memberikan tanggapan terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang mempengaruhi secara mekanis.
Dialektika antara habitus dan lingkungan adalah penting karena saling menentukan. Habitus yang mantap hanya terbentuk, hanya berfungsi dan hanya sah dalam sebuah lingkungan, habitus itu sendiri adalah “lingkungan dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis dimana kekuatan hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan tertentu. Inilah mengapa habitus yang sama mendapat makna dan nilai yang berlawanan dalam konfigurasi yang berbeda atau adalm sector yang berlawanan dari lingkungan yang sama.

16.24

Teori Gender

Sosialisasi Gender
Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu, gender dapat berubah. Proses sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan aspirasi semacam ini dalam sosiologi dinamakan sosialisasi gender (gender socialization). Sebagaimana halnya dalam sosialisasi pada umumnya, maka dalam soisalisasi gender agen penting yang berperan pun terdiri atas keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa.

Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi gender pun berawal pada keluarga. Keluargalah yang mula-mulamengajarkan seorang anak laki-laki untuk menganut sifat maskulin, dan seorang anak perempuan untuk menganut sifat feminin. Melalui proses pembelajaran gender, yaitu proses pembelajaran feminitas dan maskulinitas yang berlangsung sejak dini, seseorang mempelajari peran gender yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.
Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-laki sudah berawal semenjak seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir, bayi perempuan sudah sering diberi busana yang jenis dan warnanya semakin mencolok manakala usia mereka semakin bertambah. Perlakuan yang diterima pun sering cenderung berbeda, oleh orang tua dan kerabat lain bayi laki-laki serong diperlakukan lebih kasar daripada bayi perempuan. Dalam berkomunikasi lisan dengan seorang bayi sang ibu, bapak, kerabat lain maupun orang dewasa sering memperlakukan bayi perempuan secara berbeda dengan bayi laki-laki. Bayi laki-laki, misalnya, diberi julukan maskulin seperti gagah atau tampan, sedangkan bayi perempuan diberi julukan feminim seperti cantik atau manis.
Salah satu media yang digunakan oleh orang tua untuk memperkuat identitas gender ialah mainan, yaitu dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin. Dengan meningkatnya usia anak, jenis mainan yang berbentuk peralatan rumah tangga seperti peralatan memasak dan menjahit, sedangakan anak laki-laki diberi mainan yang berbentuk kendaraan bermotor, alat berat, alat pertukangan atau senjata.

Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak. Di bidang sosialisasi gender pun, kelompok bermain menjalankan peran cukup besar. Di jumpainya segregasi menurut jenis kelamin anak perempuan bermain dengan anak perempuan, dan anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki, merupakan suatu kebiasaan yang cenderung memperkuat identitas gender.
Di kala berada dalam kelompok bermain laki-laki seorang anak laki-laki cenderung memainkan jenis permainan yang lebih menekankan pada segi persaingan, kekuatan fisik dan keberanian sedangkan dalam kelompok bagi perempuan anak perempuan cenderung memainkan permainan yang lebih menekankan pada segi kerja sama. Setelah anak-anak beranjak dewasa mereka mulai belajar berbagai teknik menghadap lawan jenis mereka. Remaja laki-laki belajar dari teman-temannya bahwa laki-laki harus senantiasa berani dan agresif. Sedangkan perempuan dididik oleh sesamanya bahwa perempuan harus cenderung pasif, bertahan, mampu mempertahankan kehormatannyaserta memilih siapa laki-laki yang diterima.
Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain pun menerapkan kontrol sosial bagi anggota yang tidak menaati aturannya. Seorang anak laki-laki yang memilih untuk bermain dengan mainan anak perempuan dan berkumpul dengan mereka cenderung dicap “banci” dan menghadapi resiko dikucilkan. Hal serupa dihadapi anak perempuan yang berorientasi pada permainan anak laki-laki dan bermain dengan mereka, yang dapat dicap sebagai “tomboy”.

Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagai agen sosialisasi gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya, kurikulum formal. Dalam mata pelajaran prakarya, misalnya, ada sekolah yang memisahkan siswa dengan siswi agar masing-masing dapat diberi pelajaran berbeda. Siswi, misalnya, dapat diminta mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan ekonomi rumah tangga pelajaran olahraga siswa mungkin diminta mempelajari jenis olahraga yang brbeda dengan siswi.
Pembelajaran gender di sekolah dapat pula berlangsung melalui buku teks yang digunakan. Ada buku teks IPA yang cenderung mengabaikan kontribusi ilmuwan perempuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta kesenian. Pun ada buku pelajaran olahraga dan kesehatan yang dalam mengajarkan berbagai olahraga mengabaikan olahragawati dengan hanya menonjolkan gambar olahragawan.
Pemisahan yang mengarah ke segregasi menurut jenis kelamin sering terjadi manakala siswa mulai dijuruskan ke bidang-bidang ilmu tertentu. Siswi sering dikelompokkan ke bidang ilmu sosial dan humaniora, sedangkan siswa cenderung dikelompokkan ke bidang ilmu pengetahuan alam. Segregasi yang berawal di jenjang pendidikan menengah ini cenderung berlanjut ke jenjang pendidikan tinggi.

Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Media massa ,baik media cetak maupun elektronik, sering memuat iklan yang menunjang stereotipe gender. Iklan yang mempromosikan berbagai produk rumah tangga seperti zat pembersih lantai, pembasmi serangga, sabuncuci, tapal gigi, bumbu masak, minyak goreng, misalny acenderung menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang merupakan simbol status dan kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung menampilkan model laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di ranah publik berjumlah banyak, namun iklan demikian menekankan pada jenis pekerjaan yang cenderung diperankan oleh perempuan dan menempati posisi rendah dalam oraganisasi, seperti misalnya peran sebagai respsionis, pramugari, sekretaris, atau kasir dan bukan pada jabatan berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur bank atau kapten penerbang.
Gerakan sosial kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan gender telah mulai membawa dampak pada dunia periklanan. Berbagai iklan di media massa kini sudah mulai menampilkan kepekaan dengan jalan menghindari stereotipe gender dan menonjolkan persamaan peran gender. Meskipun demikian, gerakan tersebut hingga kini masih belum mampu menanggulangi praktik pemuatan iklan yang mengandung stereotipe gender.


TEORI-TEORI GENDER
Teori Nature/Kodrat Alam
Secara biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda kodrat fisik yang berbeda tersebut berpengaruh pada kondisi masing-masing. Perbedaan kodrat bilogis antara keduanya berakibat pada perbedaan perangai psikologis keduanya. Kodrat perempuan dengan perangainya tersebut mengharuskan untuk mengasuh anak dan membereskan semua urusan rumah tangga sebaliknya laki-laki dengan fisik dan perangainya sebagaimana yang disebut diatas sudah semestinya melakukan kegiatan diluar rumah untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga sekaligus memberi perlindungan terhadapnya. Ditegaskan oleh Sanderson (1995: 411) bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam membentuk pembagian peran antara kedua jenis kelamin tersebut.

Teori Nurture dan Kebudayaan.
Teori ini tidak setuju bahwa pemilahan posisi dan peran laki-laki dan perempuan merupakan kodrat alam faktor biologis tidak menyebabkan keunggulan laki-laki terhadap perempuan , penilaian sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing-masing (Sanderson, 1995: 409). Dengan demikian apa yang disebut dengan sifat kelaki-lakian dan kewanitaan merupakan hasil pemupukan melalui kebudayaan, lebih khussnya melalui pendidikan. Menurut teori kebudayaan dengan prespektif materialis, erjadinya keunggulan laki-laki terhadap perempuan karena dikonstruksi oleh kebudayaan dengan bergesernya benda yang bresifat komunal menjadi milik pribadi. Dari perspektif ini lahir pemilahan peran dan posisi laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang memiliki akses lebih besar ke benda-benda produktif dikonstruksi untuk berperan di sektor publik, sebaliknya perempuan yang kebutuhan ekonominya di penuhi oleh laki-laki cukup berperan melayani laki-laki di sektor domestik.

Teori Psikoanalisis
Teori ini ditemukan oleh Sigmund Freud. Teori ini berpangkal pada penis evy (iri pada laki-laki), maksudnya pada seorang perempuan pertama kali melihat anak laki-laki ia menjadi sadar bahwa dirinya memiliki kekurangan sesuatu begitu juga sebaliknya.
Keitiak anak perempuan menjadi dewasa, keinginan untuk memilik kelamin laki-laki berubah menjadi keinginan memilih bayi, kalau laki-laki berkembang menjadi senang pada perempuan, maka perempuan berkembanga jadi senanga kepada bayi sebgai ganti keingingannya untuk memiliki kelamin laki-laki. Kebahagiaan seseorang perempuan akan besar sekali bila kemungkinan keinginannya untuk memilki bayi laki-laki karena bayi laki-laki membawakan kelamin yang diidami-damkannya (Budiman, 1985: 8).
Saumsi dasar teori ini banyak dikritik, salah satu yang tidak bisa dijelaskan teori ini adalah jika perempuan iri terhadap alat kelamin yang dimiliki laki-laki dengan benutknya yang menonjol, mengapa pada pihak laki-laki tidak berlaku hal yang sama. Iri terhadap alat kelamin perempuan karena apa yanbg dimilikinya juga berbeda dengan alat kelamin yang dimilki oleh perempuan.

Teori Fungsionalisme Struktural
Teori ini tidak secara langsung menyinggung masalah pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan. Namun berdasarkan pandangan teori ini menyatakan bahwa masyarakat adalah merupakan suatu sistem terdir dari bagian-bagian yang terkait, masing-masing bagian akan secara terus menerus mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni. Menurut teori ini, penyimpangan ynag melanggar norma akan melahirkan gejolak. Jika terjadi gejolak maka masing-masing bagian akan berusaha secepatnya menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan kembali. Oleh karena itu, harmoni dan integrasi dipandang sebagai fungsional.

Teori Identifikasi
Menurut teori identifikasi, anak dibentuk sebagai individu yang diharapkan oleh masyarakatnya melalui proses identifikasi. Adapun yang dimkasud dengan identifikasi adalah proses dengan mana individu menginternalisasikan sepernagkat perilkau, sikap, dan karakteristik yang sangat dekat dengan individu tersebut.

Teori perkembangan kognitif/ sosial
Menurut teori ini individu berusaha untuk menjadi orang yang ideal melalui sosialisasi sendiri. proses aktif ini menjadi dasar bagi penciptaan stereotipe dan naskah peran gender. Anak-anak didorong menjadi individu seperti kategori yang telah diciptakannya. Mereka akan mengimitasi perilaku yang dinilai sangat penting begi seksnya dan mengadopsi yang sesuai dengan penilainnya menjadi anak perempuan atau laki-laki yang “baik”, dan anak-anak termotivasi untuk menjadi seperti itu. Jadi pencapaian peran gender bergantung pada keinginan anak untuk memodelkan dirinya sendiri setelah konsep peran gender mereka.

Dominasi Budaya Patriarki
Secara umum patriarki dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah). Dalam sistem ini laki-laki berkuasa untuk menentukan sistem ini dianggap wajar sebab disejajarkan dengan pembagian kerja berdasarkan seks. Ada yang meyakini bahwa budaya patriarki sebagai suatu sistem bertingkat yang telah dibentuk oleh suatu kekuasaan yang mengontrol dan mendominasi pihak lain. Pihak lain ini adalah kelompok miskin, rendah, lemah, tidak berdaya juga lingkungan hidup dan perempuan.
Sedangkan di indonesia akar patriarki bersumber di berbagai aspek pembagian kerja dan fungsi dalam masyarakat, feodalisme dan ajaran agama. Tradisi kolonialisme, imperialisme, kapitalisme. Seperti contoh di Irian, perempuan di daerah ini mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam keluarga. Urusan keluarga ada pada keputusan perempuan. Masyarakat mengakui kekuatan perempuan ini, laki-laki berpoligami tujuan semula adalah unutk meningkatkan kekuatan hidup mereka. Laki-laki di irian tidak akan merasa berat bebannya, meskipun memiliki istri lebih dari satu karena mereka mengurus hidupnya masing-masing. Pemahaman demikian ini mengubah hubungan yang semula horizontal mejadi vertikal.
Budaya patriarki begitu kuat menonjol dan demikian seolah begitu adanya dan tidak terelakkan. Dari gambaran-gambaran tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi hubungan perempuan dan laki-laki berdasarkan daerah lapangan pekerjaan keluarga dan masyrakat. Apabila proses perubahan sosial kita amati, ternyata semua hubungan perempuan dan laki-laki adalah hubungan partner. Sistem itu berubah ke arah patrilineal justru karena pengaruh dari luar seperti feodalisme dan kapitalisme.


DAFTAR PUSTAKA
Mufid, Ahmad Syafi’i. 2002.Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam untuk kelas 1 SLTP, Jakarta: Ghalia Indonesia.

---------------------, 2002. Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam untuk kelas 3 SMU, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Muthali’in, Ahmad. 2001. Bias Gender Dalam Pendidikan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press.

Murniati, A. Nunuk. 2004. Getar Gender. Magelang: Indonesiatera.

Oksiana, Jatiningsih. 2003. Paradigma Jurnal Ilmu-ilmu Sosial. Surabaya: Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Surabaya.

Wahid, Achmadi. dan Masrun. 2005. Pendidikan Agama Islam untuk SMP kelas 3, Jakarta: Ganeca Exact.

Widy, Hastanty. 2004. Diskriminasi Gender (Potret perempuan dalam hegemoni laki-laki) Suatu Tinjauan Filsafat Moral. Jogjakarta: C.V. Hanggar Kreator.

(http://www.icrp-online.org) 28 Agustus 2006 - 04:55s

16.22

PILKADA DAN AGAMA: Sebuah pencitraan calon kepala derah dalam iklan politik

Proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) akhir-akhir ini yang berlangsung di beberapa daerah menunjukkan bahwa demokrasi semakin terasa dalam setiap pemilihan kepala daerah. Begitu maraknya hingga calon-calon yang bermunculan pun bervariatif, setiap calon yang diusung merupakan representasi atas sebagian kelompok atau golongan di masyarakat. Ada calon representasi dari kalangan rakyat kecil, ada juga representasi dari kalangan orang nasionalis, juga ada representasi dari kalangan orang religius. Sebagian masyarakat menganggap bahwa pilkada dapat membuat pemerintahan di daerah-daerah menjadi lebih kuat karena pemilihannya dilakukan secara langsung oleh warga setempat, dan calonnya pun juga harus putra daerah. Karakter sebagian masyarakat yang mudah didekati dengan menggunakan isu-isu religi membuat calon-calon kepala daerah menampilkan dirinya (mencitrakan dirinya) dalam iklan-iklan kampanye mereka dengan nuansa dan background religi. Sosok yang ingin ditampilkan adalah seorang pemimpin yang religius, dengan menggunakan simbol-simbol agama, sebagai contoh dalam pilgub Jatim sosok Pakde Karwo telah jauh-jauh hari sebelum masa Pilgub menampilkan iklan pencitraan dirinya dengan mengeluarkan album shalawat kontemporer dimana dalam iklan tersebut ditampilkan Pakde Karwo sedang berdoa dan bercengkrama dengan anak-anak kecil di masjid. Serta Soenarjo yang merupakan Wakil Gubernur Jatim menampilkan suatu acara yang tayang dalam bulan Ramadhan setiap menjelang buka puasa di JTV yang bernama “pitutur luhur“, dimana acara tersebut berisi nasehat-nasehat luhur dari tradisi orang jawa, backgroundnya yang seorang dalang membuat dirinya memaksakan untuk mencitrakan menjadi religius. Dalam hal ini Soenarjo tidak sendirian, Achmady yang merupakan bupati Mojokerto juga tak mau ketinggalan, sebelum acara “pitutur luhur“ Soenarjo tayang maka sebelumnya lebih dulu tayang acara Achmady, yang kurang lebih isinya sama yakni ceramah agama, bedanya apa yang disampaikan Achmady lebih bernuansa religi karena bukan nasehat luhur orang jawa namun ceramah yang disertai dalil-dalil.
Disini media massa menjadi instrumen penting dalam mengakomodasi iklan kampanye para calon kepala daerah tersebut, selama bulan Ramadhan iklan kampanye para calon Gubernur tidak pernah absen tampil di JTV, momen ramadhan dijadikan sebagai saat untuk berlomba-lomba meraih popularitas dan dukungan bukan berlomba-lomba memperoleh pahala dan ampunan. Di jalanan, banner-banner ikut menghiasi keindahan kota, dalam banner tersebut ada beberapa gambar yang di tampilkan dengan simbol-simbol agama, misalnya gambar para calon kepala daerah yang memakai peci, kemudian ada yang diantara gambar kedua calon, ditengah-tengahnya terdapat gambar seorang kiai, hal tersebut memberikan legitimasi kuat bagi pasangan calon tersebut. Seperti yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur khususnya di daerah “tapal kuda“ yang merupakan basis massa santri, dimana patronase kiai sangat kuat di lingkungan pesantren dan juga di luar lingkungan pesantren. Fungsi identitas dan perekat kelompok dan legitimasi dari agamalah yang tampaknya sangat menonjol dalam masyarakat kita dewasa ini. Pada satu pihak, kedua fungsi ini memang tak dapat dihindarkan karena inheren dalam agama apa pun, tapi bila terlalu menonjol dan mengabaikan peran kenabian dan penghayatan agama secara substansial, maka dapat diduga faktor nonagama telah melakukan intervensi. Fenomena agama lebih berfungsi sebagai alat kohesi kelompok dan pemberi legitimasi atas kekuasaan dan kebijakan publik, ini terjadi karena agama dijadikan sebagai alat politik untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi. Bila agama dilihat dari jumlah penganutnya, bukan bagaimana penghayatannya secara substansial, maka agama telah dijadikan sarana kekuasaan. Agama sebagai alat politik ini dapat saja dilakukan oleh tokoh masyarakat dan tokoh politik, tapi juga  tak jarang oleh tokoh pemerintahan. Agama sebagai alat politik seperti ini akan menjadi subur  bila dalam realita kehidupan masyarakat terdapat kesenjangan  ekonomi dan politik yang sangat lebar. Tak dapat disangkal betapa kesenjangan ekonomi (antara industri dan pertanian, perdagangan dan pertanian, kota dan desa,  antara pusat dan daerah, dan antargolongan) dan kesenjangan politik (penguasa dan rakyat) sangat nyata baik secara objektif  (menurut ukuran objektif) maupun secara inter-subjektif (yang  dirasakan orang per orang).
Seperti yang dipaparkan oleh Jean Baudrillard, bahwa saat ini merupakan masa imagology atau pencitraan. Semua yang ditampilkan adalah citra. Masyarakat hanya mengejar image semata. Begitu pula dengan para kandidar kepala daerah yang berlomba-lomba mengejar citra “positif“ di hadapan masyarakat yang hendak dipimpinnya. Citra sebagai sosok pemimpin yang bijaksana dan religius adalah pencitraan utama yang hendak diperilhatkan kepada publik. Dengan kalimat-kalimat yang disampaikan penuh kelembutan serta berbobot dan penuh nasehat, Soenarjo mencoba mencitrakan dirinya sebagai sosok yang memiliki keluhuran budi pekerti dan kebijaksanaan seorang pemimpin. Tak hanya itu, jam tayang acaranya pun tepat saat bulan Ramadhan dan beberapa menit saja sebelum buka puasa, sehingga pemilihan waktu tersebut membuat seakan dirinya adalah tokoh agama yang memberikan semacam kultum menjelang berbuka puasa, seperti bagaimana lazimnya di stasiun-stasiun televisi lainnya yang menyiarkan kultum dari Ustadz dan Ulama yang ternama setiap menjelang berbuka puasa. Hal yang sama juga dilakukan Achmady yang seolah tak mau ketinggalan, dirinya juga berupaya menmpilkan citra seorang santri NU yang fasih berceramah lazimnya seorang yang religius. Mengingat sosoknya yang masih kalah populer dibandingkan kandidat lainnya. Dalam hal ini, Achmady yang didukung oleh Gus Dur menjadi ikon dari masyarakat tradisional NU di Jatim, sehingga dengan basis massa yang kuat diharapkan Achmady dapat mendulang suara yang cukup signifikan dalam persaingan dengan kandidat lainnya. Pakde Karwo adalah kandidat yang paling sibuk mencitrakan dirinya sebagai sosok pemimpin yang ideal karena dicitrakan sebagai seorang yang religius dan bijaksana. Tayangan-tayangan yang dicitrakan dalam iklan politiknya seakan mengajak publik untuk memahami bahwa Pakde Karwo adalah sosok yang dekat dengan rakyat kecil, memiliki religusitas yang baik, dan sebagai birokrat yang berpengalaman. Sebagai kandidat yang paling terakhir maju, Khofifah Indar Parawansa, juga menayangkan pencitraan dalam iklan politiknya saat Ramadhan dengan berceramah saat waktu mejelang berbuka puasa. Namun sedikit berbeda latar yang digunakan dalam iklan tersebut adalah kota Mekkah dan segala tempat sakral bagi ummat Islam seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Makam Nabi. Semua di jadikan sebagai legitimasi untuk memperkuat pencitraan terhdadap dirinya sebagai pemimpin yang religius. Dari keempat tokoh tersebut, seluruhnya berupaya menampilkan sosok yang religius. Pencitraan yang ditampilkan adalah kealiman dan kedalaman ilmu agama. Citra yang ingin ditampilkan adalah religiusitas. Karena hal tersebut membuat masyarakat lebih mempercayai sosok pemimpin yang ideal. Namun sedikit berbeda dari keempat kandidat tersebut, pasangan Soecipto dan Ridwan Hisjam tidak menampilkan iklan politik yang mencitrakan diri mereka sebagai sosok pemimpin yang religius. Namun pada akhirnya mereka harus kalah pada putaran pertama. Lalu kira-kira siapakah calon pemimpin yang akan menjadi Gubernur Jawa Timur lima tahun mendatang?

16.17

CIVIL SOCIETY DAN DEMOKRASI

Pendahuluan
Sebagai sebuah konsep, civil society berasal dari sebuah proses sejarah masyarakat barat. Akar perkembangannya dapat dirunut mulai cicero dan bahkan, menurut Manfret Riedel, lebih ke belakang sampai Aristoteles. Yang jelas, cicerolah yang memulai menggunakan istilah societes civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa abad 18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (the state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Barulah pada paruh abad ke 18, terminologi ini mengalami pergeseran makna. Negara dan civil society kemudian dimengerti sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan sturktur politik di Eropa sebagai akibat pencerahan dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi, yang keduanya turut mendorong tergusurnya rezim-rezim absolut.1 Dalam pandangan Hegel, civil society adalah entitas yang memiliki ketergantungan pada negara. Sebagai misal negara harus mengawasi civil society dengan cara menyediakan perangkat hukum dan administrasi.
Disamping itu, civil society menurut para tokoh juga bebeda-beda, seperti Hegel yang berpendapat entitas civil society mempunyai kecenderungan entropi atau melemahkan diri sendiri (a self crippling entity), oleh karena itu harus diawasi oleh negara. Pandangan Hegel yang agak pesimistik ini, akhirnya memiliki gayut dengan pandangan Karl Marx tentang civil society. Bahkan Karl Marx memposisikan civil society pada basic material dalam tautan dengan produksi kapitalis. Oleh Marx, civil society dimaknai sebagai kelas borjuis yang menjadi tantangan baginya untuk membebaskan masyarakat dari berbagai penindasan, oleh karena itu civil society menurut dia harus dilenyapkan demi terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Tokoh lain adalah Gramsci. Dalam banyak hal pendapat Gramsci mirip pendapat Marx. Perbedaannya terletak pada memposisikan civil society bukan pada basic material tetapi pada tataran suprastruktur, sebagai wadah kompetisi untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan. Peran civil society pada konteks yang demikian oleh Gramsci ditempatkan sebagai kekuatan pengimbang di luar kekuatan negara. Pandangan Gramsci ini lebih bernuansa ideologis ketimbang pragmatik. Dalam perjalanan waktu, akhirnya konsep Gramsci ini dikembangkan oleh Habermas seorang tokoh madzab Frankfurt melalui konsep the free public sphere atau ruang publik yang bebas, di mana rakyat sebagai citizen memiliki akses atas setiap kegiatan publik.2
Civil society atau Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya3:
1.    Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat  melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.   Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.   Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5.    Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim-rezim totaliter.
6.    Meluasnya kesetiaan (loyality) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu  mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7.    Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sebagai berikut4:
1.   Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2.   Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. 
3.   Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain  terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4.   Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga  swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan  kebijakan publik dapat dikembangkan.
5.   Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling  menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6.   Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi,  hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7.   Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan  yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Untuk memahami akar pengertian masyarakat madani ada baiknya, kita tengok secara sepintas dua paradigma besar yang menjadi dasar perdebatan mengenai masyarakat madani, yaitu Demokrasi Sosial Klasik dan Neoliberalisme. Demokrasi Sosial Klasik atau Demokrasi Sosial Gaya Lama memandang pasar bebas sebagai sesuatu yang menghasilkan banyak dampak negatif. Faham ini percaya bahwa semua ini dapat diatasi lewat intervensi negara terhadap pasar. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan segala yang tidak bisa diberikan oleh pasar. Intervensi pemerintah dalam perekonomian dan sektor-sektor kemasyarakatan adalah mutlak diperlukan. Kekuatan publik dalam masyarakat demokratis adalah representasi dari kehendak kolektif. Secara ringkas, Giddens5 memberikan ciri-ciri Demokrasi Sosial Klasik:
Keterlibatan negara yang cukup luas dalam kehidupan ekonomi dan sosial.
Negara mendominasi masyarakat madani
Kolektivisme.
Manajemen permintaan Keynesian dan korporatisme.
Peran pasar yang dibatasi: ekonomi sosial atau campuran.
Pemberdayaan sumber daya manusia secara maksimal.
Egalitarianisme yang kuat.
Negara kesejahteraan (welfare state) yang komprehensif: melindungi warga negara “sejak lahir sampai mati”.
Modernisasi linear.
Kesadaran ekologis yang rendah.
Internasionalisme.
Termasuk dalam dunia dwikutub (bipolar).

Pembahasan
Di dalam upaya untuk mengembangkan peran civil society maka disini diperlukan adanya sistem demokrasi dalam suatu negara. Dan rasanya sangat sulit bagi sebuah negara yang memiliki tingkat pluralitas tinggi untuk menerapkan sistem demokrasi. Seperti Indonesia misalnya, di Negara kita ini memiliki pluralitas yang cukup tinggi sehingga seperti yang kita lihat saat ini, untuk menerapkan Demokrasi rupanya masih kesulitan. Demokrasi ternyata tak cukup hanya dibangun dengan terpilihnya pemimpin sipil lewat pemilihan umum yang jurdil-jujur dan adil-atau terjungkalnya sebuah pemerintahan otoriter. Demokrasi membutuhkan kepemimpinan politik yang mampu membangun fondasi bagi tegaknya supremasi hukum, terjaminnya hak-hak asasi warga negara, pers yang bebas, dan sistem politik yang memungkinkan checks and balances di antara lembaga-lembaga negara.
Di sisi lain, demokrasi juga baru bisa berjalan bila masyarakatnya ikut mendukung dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam kondisi Indonesia saat ini, kedua aspek itu belum muncul. Selain kepemimpinan politik bangsa ini sangat lemah, masyarakatnya juga baru belajar berdemokrasi, yang menganggap semua persoalan seakan-akan bisa diselesaikan lewat unjuk rasa dan membuat organisasi tandingan.
Dengan kata lain, good governance hanya bisa tercipta melalui pemerintahan yang kuat dan terkonsolidasinya masyarakat madani (civil society) yang memosisikan dirinya sebagai penyeimbang negara. Alhasil, persoalan mendesak yang dihadapi bangsa ini adalah penataan kembali sistem kelembagaan politik, publik, dan sosial kemasyarakatan. Penataan ini harus dibarengi pula dengan pemahaman terhadap pandangan dunia (world-view) terhadap nilai-nilai religius, etika, dan moral dalam diri setiap warga negara.
Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan".
Kalau saja kita mau jujur, makna civil society yang kita idamkan (walau sebagian) adalah konsep civil society menurut Habermas. Kita telah lama memimpikan ruang publik yang bebas tempat mengekspresikan keinginan kita atau untuk meredusir, meminimalisir berbagai intervensi, sikap totaliter, sikap etatisme pemerintah. Pada ruang publik inilah kita memiliki kesetaraan sebagai aset untuk melakukan berbagai transaksi wacana tanpa harus takut diciduk, diintimidasi atau ditekan oleh penguasa. Model ini sudah lama tetapi sekaligus merupakan format baru bagi kita untuk mereformasi paradigma kekuasaan yang telah dipuntir oleh penguasa Orde Baru.
The free public sphere merupakan inspirator, motivator sekaligus basis bagi mekanisme demokrasi modern, seperti yang dialami oleh Amerika, bangsa Eropa dan kawasan dunia lain. Demokrasi modern secara substantif mengacu pada kebebasan, kesetaraan, kemandirian, kewarganegaraan, regularisme, desentralisme, aktivisme, dan konstitusionalisme. Persoalannya bagaimana cara yang efektif agar spirit demokrasi modern ini bisa disemaikan dengan baik? Jawabannya, adalah kita mesti membangun dan mengembangkan institusi seperti LSM, organisasi sosial, organisasi agama, kelompok kepentingan, partai politik yang berada di luar kekuasaan negara, termasuk Komnas HAM dan Ombudsman yang dibentuk oleh pemerintah. Hal ini tidak serta merta menghilangkan keterhubungannya dengan negara atau bersifat otonom. Berbagai undang-undang, hukum dan peraturan negara tetap menjadi pijakan bagi setiap institusi dalam melakukan aktivitasnya. Hal terpenting dalam civil society adalah kesetaraan yang bertumpu pada kedewasaan untuk saling menerima perbedaan. Tanpa itu, civil society hanya merupakan slogan kosong.6
Civil Society dan demokrasi ibarat "the two side at the same coin". Artinya jika civil society kuat maka demokrasi akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya jika demokrasi bertumbuh dan berkembang dengan baik, civil society akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Itu pula sebabnya para pakar mengatakan civil society merupakan rumah tempat bersemayamnya demokrasi.7
Menguatnya civil society saat ini sebenarnya merupakan strategi yang paling ampuh bagi berkembangnya demokrasi, untuk mencegah hegemoni kekuasaan yang melumpuhkan daya tampil individu dan masyarakat. Dalam praktiknya banyak kita jumpai, individu, kelompok masyarakat, elite politik, elite penguasa yang berbicara atau berbuat atas nama demokrasi, walau secara esensial justru sebaliknya. Kesadaran masyarakat akan demokrasi bisa dibeli dengan uang. Kelompok masyarakat tertentu diatur untuk bertikai demi demokrasi. Perseteruan eksekutif dan legislatif saat ini sebenarnya tidak kondusif bagi pemulihan ekonomi kita, tetapi hal itu tetap dilakukan demi demokrasi. Kalau rakyat kecil selalu jadi korban, apakah makna demokrasi yang kita perjuangkan sudah betul? Atau sedang mengalami distorsi.

Penutup
Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain kuat di masa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dalam meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utama kita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga dasawarsa yang lalu. perluasan dan pendalaman demokrasi akan tercapai bukan semata-mata karena niat tulus belaka, namun lebih dari itu harus ada kepemimpinan politik yang memiliki visi kerakyatan, reformis, dan berani dalam melakukan perubahan. Jika kepemimpinan yang diharapkan tidak terwujud, maka gerakan sosial civil society dapat menjadi kekuatan oposisi yang menekan penguasa untuk mempercepat agenda perubahan sebagai upaya terjadinya konsolidasi demokrasi yang kuat.




DAFTAR PUSTAKA

Giddens, Anthony. 2000. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hikam, Muhammad A.S.. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta:LP3ES. http://www.geocities.com/CapitolHill/Parliament/2385
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0010/19/opini/civi04.htm

04.08

Religi Tokugawa

Pada Pertempuran Sekigahara (1600), Tokugawa Ieyasu unggul secara menentukan atas gabungan lawan-lawannya dan dengan demikian memantapkan dirinya sebagai penguasa tertinggi di seluruh Jepang. Pertempuran ini dianggap orang sebagai saat yang menandai awal masa Tokugawa, sedangkan jatuhnya Shogun Tokugawa terakhir dan berlakunya pemerintahan langsung oleh Kaisar Meiji (1868) menandai akhir masa itu.
Garis besar struktur sosial masa Tokugawa ini meliputi sistem nilai, politik, ekonomi,integrasi, dan motivasional. Sistem nilai di Jepang dicirikan oleh pengutamaan nilai-nilai politis. Nilai-nilai itu dapat ditentukan artinya dengan kombinasi variabel pola partikularisme dan prestasi. Yang dipentingkan disini adalah sistem khusus (partikular) atau kolektivitas di mana seseorang menjadi anggota baik han (satu unit teritorial di bawah seorang adipati feodal) atau Jepang secara keseluruhan. Pentingnya kolektivitas dan hubungan partikularistik seseorang pada masa Tokugawa tampak dari kenyataan sangat pentingnya kedudukan simbolis kepala kolektivitas (kepala keluarga, tuan feodal, atau kaisar). Dengan kata lain, ikatan partikularistk seseorang dilambangkan sebagai kesetiaan kepada kepalanya. Kesetiaan ini adalah kesetiaan kepada status daripada kepada seorang pribadi tertentu.
Sedangkan pentingnya prestasi tergambar dalam keluarga. Tingkat prestasi yang sangat intensif dituntut dari anak-anak dengan memberikan ancaman untuk tidak mendapat warisan bila mereka tidak pandai. Kesetiaan di Jepang tidak hanya mengandung arti kepatuhan pasif, melainkan pengabdian aktif dan prestasi.
Dalam ruang lingkup budaya, terdapat dua macam kelompok nilai. Kelompok pertama adalah nilai yang berkaitan dengan penghargaan kepada yang tertulis, buku-buku, guru serta pendidikan pada umumnya. Nilai-nilai itu dijunjung tinggi karena hasil-hasilnya dalam tindakan. Seseorang yang sungguh-sungguh terpelajar akan juga menjadi seseorang yang sungguh-sungguh setia dan patuh kepada keluarganya. Pertimbangan-pertimbangan seperti ini juga berlaku dalam religi.
Kelompok nilai budaya yang kedua disebut sebagai nilai estetis-emosional. Nilai-nilai ini cenderung merupakan tujuan pada dirinya sendiri daripada ditundukkan kepada nilai-nilai sentral. Nilai-nilai ini tidak berpusat pada tujuan-tujuan kolektif, tetapi pada pengalaman pribadi.
Nilai-nilai yang ada pada seluruh masyarakat Jepang dapat diterapkan pada keluarga. Nilai tertinggi dalam keluarga adalah kepatuhan anak. Keluarga Jepang dipandang sebagai sesuatu yang diteruskan secara berkelanjuatan dari leluhur jaman dulu. Penghormatan terhadap orang tua ditempatkan dalam konsep yang lebih luas, yakni penghormatan terhadap leluhur. Keluarga adalah pusat latihan keutamaan sosial, keluarga cenderung merupakan satuan dari masyarakat bukan individu. Nilai tersebut menjadi sebuah pandangan bahwa anak yang patuh kepada orang tua akan bisa menjadi pegawai yang setia.
Garis besar struktur sosial berikutnya pada masa Tukogawa adalah sistem politik. Pada sistem politik Jepang masa Tokugawa terdapat nilai kesetiaan yang kuat. Kesetiaan yang mewajibkan dan dominan terhadap otoritas politik harus dilihat dalam konteks gagasan tentang on. Otoritas politik berkewajiban melimpahkan berkat (on) kepada rakyat yang dibawahinya. Bentuk nyata dari konsep ini dalam kaitannya dengan golongan samurai adalah diberikannya gaji kepada mereka, walaupun sebetulnya arti konsep itu jauh lebiih luas. Misalnya salah satu berkat yang dilimpahkan oleh shogunat kepada seluruh rakyat adalah kedamaian.
Selaras dengan konsep on adalah konsep hoon atau on yang ditambah. Konsep ini menyangkut kewajiban umum untuk menghormati dan mentaati aturan-aturan pemerintah. Adanya papan pengumuman resmi tempat menempelkan ketetapan atau peraturan terakhir dari bakufu (pemerintahan tenda yang biasanya bergantian dengan kata ‘keshogunan’).
Masa Tokugawa ditandai oleh suatu sistem kelas yang resmi dan urun temurun. Kerangka utamanya dapat ditarik dari sistem nilai yang berlaku bahwa prestise berhubungan secara langsung dengan kekuasaan. Kekuasaan yang menentukan status bukan kekayaan. Berada di titik puncak sistem itu adalah kaisar, shogun dan tuan tanah feodal. Satu tingkat di bawahnya adalah samurai atau kaum bushi, yang berkedudukan tinggi karena dia melaksanakan kekuasaan politik baik di bidang militer maupun di jabatan sipil. Di atas adalah sang penguasa dan dibawah adalah yang terkuasai. Tingkat kedudukan rakyat jelata diatur sesuai dengan pandangan tradisional, yaitu berdasarkan produktivitas mereka. Diantara kelas tersebut terdapat mobilitas, bebeapa pedagang mendapatkan status samurai sebagai balas jasa atas pengabdian yang luar biasa kepada pemerintah, beberapa samurai memutuskan menanggalkan statusnnya untuk menjadi pedagang. Namun, mobilitas lebih banyak terjadi di dalam kelas, bukan antar satu kelompok kelas yang lain. Dengan berjalannya waktu, pemilikan kekayaan cenderung semakin lama semakin tidak ada hubungannya dengan posisi dalam hirarki kelas. Kaum pedagang pada khususnya menjadi semakin kaya sementara kelas samurai mengalami proses pemiskinan.
Dalam sistem nilai, penggunaan uang sebagai alat tukar menukar atau jual beli dalam lingkkup nasional untuk pertama kalinnya dibakukan pada masa Tokugawa. Pada masa ini memang masa terjadinya perluasan dan diferensiasi ekonomi Jepang yang terus berlanjut. Kebutuhan akan modal untuk memenuhi kebutuhan belanja sangatlah besar dalam ekonomi seperti yang berlaku juga di Jepang pada masa Tokkugawa. Beberapa pedagang kaya pada masa itu mengkhususkan diri memberikan pinjaman hanya kepada daimyo (tuan tanah penguasa han) yang hutangnya seringkali menumpuk dalam jumlah yang sangat besar. Pinjaman jenis ini menarik untuk mereka yang bermodal karena tingkat bunganya tinggi. Beberapa rumah pedagang besar dan terutama tempat pertukaran uang berkembang menjadi lembaga yang melaksanakan banyak fungsi bank. Mereka menerima deposito, mengeluarkan surat wesel, dan sebagainya.
Dalam sistem integrasi, tingkat keterikatan masyarakat pada tradisi sangat tinggi pada masa Tokugawa. Hal ini mennyebabkan masyarakat tidak terbuka bagi pembaharuan atau sedikit sekali memungkinkan adanya keragaman. Ini merupakan hal penting bagi sistem integrasi karena formalisasi itu dalam banyak situasi menyingkirkan kemungkinan konflik. Faktor yang mendukung kesetiaan kepada bentuk-bentuk yang telah ditentukan adalah prinsip kepada bentuk-bentuk kelompok. Keadaan ini menyebabkan identifikasi yang kuat dengan kolektivitas dan kecenderungan bagi semua subkolektivitas untuk mendukung moralitas dari keseluruhan kolektivitas, apa pun resikonya bagi mereka. Ini mungkin seperti yang diuraikan oleh Durkheim dan disebutnya sebagai solidaritas mekanik. Solidaritas ini sangatlah kuat dan merupakan mekanisme integrasi utama.
Dalam sistem motivasional di sini mengacu kepada pengaturan motivasi pribadi dalam kaitannya dalam sistem sosial. Di satu pihak, keterikatan terhadap nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan fungsional dalam sistem sosial, dan di pihak lain ketegangan yang mmuncul dalam pribadi dengan cara demikian sehingga tersedia saluran pelepasan tanpa harus membahayakan fungsi sistem sosial. Sosialisasi merupakan fungsi yang sangat penting dari sistem motivasional. Yang merupakan proses yang dilewati oleh individu untuk akhirnya dapat menginternalisasikan norma-norma moral dan menjadikannya terikat kepada pola-pola kelembagaan. Seperti dalam semua masyarakat, keluarga merupakan fokus utama sosialisasi.
Yang berhubungan dengan pengaturan motivasi adalah kesadaran akan perlunya keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Selain itu, yang mengatur motivasi adalah keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Arti penting negara dan pengabdian kepada atasan yang merupakan ciri masa Tokugawa tidak bisa dipungkiri telah menyebabkan didahulukannya kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
Sistem motivasi sangan berhubungan dengan religi. Religi memberikan konteks makna fundamental kepada sistem nilai dasar melalui kenyataan bahwa kolektivitas utama dalam masyarakat dipandang sebagai lembaga religius dan juga lembaga sekular. Kesetiaan kepada kolektivitas dan pimpinannya tidak hanya mempunyai arti keduniaan tetapi juga satu arti keabadian. Pemenuhan kewajiban kepada mereka dari satu sisi dapat diartikan sebagai kewajiban religius.
Religi Jepang sebagai satu entitas dalam perwujudannya terdapat banyak sekali keragaman. Terutama menjelang masa-masa Tokugawa sangat benyak peminjaman yang terjadi antar bermacam religi besar sehingga orang dapat menyatukan beberapa elemen yang umum terdapat di semua religi kemudian memberinya label ‘religi Jepang’.
Religi Jepang mempunyai dua konsep dasar mengenai keTuhanan. Yang pertama adalah Tuhan sebagai suatu entitas lebih tinggi yang memelihara, memberikan perlindungan, dan cinta. Contohnya, mencakkup dewa-dewa langit dan bumi dari penganut Konfusius, Amida dan Budha-budha yang lain, dewa-dewa Shinto, selain para dewa pelindung lokal dan para nenek moyang. Tindakan-tindakan religius yang ditujukan kepada entitas-entitas ini bercirikan sikap hormat, syukur atas rahmat yang diterima dari mereka, dan usaha-usaha untuk membelas rahmat tersebut.
Konsep dasar yang kedua, yang tidak dianggap sebagai konsep yang bertentangan dengan konsep yang pertama adalah bahwa dia merupakan dasar dari segala yang ada atau inti terdalam dari realitas. Contohnya adalah tao cina, li dari neo-Konfusius yang sering diterjemahkan sebagai nalar, dan hsin (hati, pikiran).
Kegiatan yang berkaitan dengan dewa sebagai unsur mahatinggi yang mulia membawa pada teori on. Tuhan dalam beberapa bentuknya memberikan berkah (on) dan merupakan kewajiban penerimanya untuk membalas berkah tersebut (hoon). Kegiatan religius dianggap sebagai upaya membalas karunia dari Tuhan yang mahatinggi banyak didasarkan kepada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Hanya dengan bantuan yang serba pemurah mereka bisa hidup, dan rahmat yang diterimanya juga jauh lebih besar dari kemampuannya untuk membalasnya, sehingga karena itu dia hanya akan dapat memberikan balasan yang sangat kecil dan tidak berarti. Dengan membaktikan dirinya sepenuhnya hanya pada upaya membalas karunia ini maka dia dapat meyakinkan bahwa upaya itu terus berlanjut, dengan demikian berarti dia sudah dapat dikatakan menyelamatkan diri dari kelemahan.
Selain itu, kegiatan religius utama adalah upaya untuk dapat menyatu dengan Tuhan yang dipandang sebagai ‘Keabadian Yang Maha Besar’. Kegiatan jenis ini mempunyai dua bagian utama. Yang pertama adalah yang berusaha untuk mencapai kemanunggalan melalui latihan-latihan atau pengalaman-pengalaman keagamaan khusus, atau melalui penarikan diri dari dunia. Secara teoritik, pendekatan ini nampaknya merupakan cara untuk menghancurkan diri sebagai entitas ontologis, untuk menghancurkan dikotomi antara subyek dan obyek. Yang kedua adalah kegiatan-kegiatan etis dalam bentuk ‘kegiatan-kegiatan karitas’ atau tindakan-tindakan yang menjadikan dia hidup dengan benar. Secara teoritik, pendekatan ini merupakan satu cara untuk mencapai kemanunggalan melalui penghancuran diri sebagai entitas etika, dengan menghancurkan batas antara diri dan orang lain, dengan kata lain menghancurkan sifat mementingkan diri.
Teologi untuk suatu religi ketaatan kepada orang tua ditarik sepenuhnya dari elemen-elemen sistem religi umum. Religi keluarga yang sangat umum dianut di Jepang sebenarnya adalah pemujaan kepada leluhur. Setiap keluarga mempunyai kuil keluarga yang biasanya berjumlah dua, satu kuil Shinto dan satu kuil Budha. Biasanya dalam kuil Budha itu disimpan barang-barang yang berasal dari para leluhur, disamping patung atau simbol para dewa. Upacara singkat selalu dilakukan di kuil itu, sekali di waktu pagi dan sekali di waktu sore dengan cara menghidupkan lampu dan mempersembahkan sejumlah makanan. Kultus leluhur ini merupakan cara untuk terus menerus mengingatkan arti suci garis leluhur dan tanggung jawab semua anggota keluarga terhadapnya.

04.05

Teori Pertukaran Sosial

Teori Pertukaran George Homans
Inti teori pertukaran Homans terletak pada sekumpulan proposisi fundamental. Meski beberapa proposisinya menerangkan setidaknya dua individu yang berinteraksi, namun ia dengan hati-hati menunjukkan bahwa proposisi itu berdasarkan prinsip psikologis. Menurut Homans proposisi itu bersifat psikologis karena dua alasan. Pertama, proposisi itu biasanya dinyatakan da diuji secara empiris oleh orang yang menyebut dirinya sendiri psikolog. Kedua, dan yang lebih penting, proposisi itu bersifat psikologis karena menerangkan fenomena individu dalam masyarakat. Atas dasar pemikirannya ini, Homans mengakui telah menjadi seorang reduksionis psikologi. Reduksionisme menurut Homans adalah proses yang meunujukkan bagaimana proposisi yang disebut satu ilmu logikanya berasal dari proposisi yang lebih umum yang disebut ilmu lain. Walau Homans membahas prinsip psikologis, namun ia tak membayangkan individu dalam keadaan terisolasi. Ia mengakui bahwa manusia adalah makhluk sosial dan menggunakan sebagian besar waktu mereka berinteraksi dengan manusia lain. Ia mencoba menerangkan perilaku sosial dengan prinsip-prinsip psikologi. Homans tidak menolak perndirian Durkheim yang menyatakan bahwa ciri-ciri yang baru muncul itu dapat dijelaskan dengan prinsip psikologi. Untuk menjelaskan fakta sosial tak diperlukan proposisi sosiologi yang baru.
Dalam sejumlah publikasi Homans memerinci program untuk “mengembalikan orang ke dalam” sosiologi, tetapi ia pun mencoba mengembangkan sebuah teori yang memusatkan perhatian pada psikologi, manusia dn “bentuk-bentuk mendasar kehidupan sosial”. Menurut Homans, teori ini “membayangkan perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas, nyata atau tak nyata, dan kurang lebih sebagai pertukaran hadiah atau biaya, sekurang-kurangnya antara dua orang. Dalam Social behaviour: Its Elementary Forms, Homans menyatakan bahwa teori pertukarannya berasal dari psikologi perilaku dan ilmu ekonomi dasar (teori pilihan rasional). Sebenarnya Homans menyesal menamakan teorinya “teori pertukaran” karena ia melihatnya sebagai penerapan psikologi perilaku pada situasi khusus. Homans memulai dengan membahas paradigma perilaku B.F. Skinner, khususnya tentang studi burung merpati skinner. Dia tertarik pada contoh perilaku merpati ini; Homans memperhatikan perilaku manusia. Menurut Homans, merpati Skinner tidak terlibat dalam hubungan pertukaran yang sebenarnya dengan psikolog yang menelitinya. Merpati itu hanya terlihat dalam hubungan pertukaran satu pihak, sedangkan pertukaran manusia sekurangnya melibatkan dua pihak. Merpati diperkuat oleh biji, sedangkan psikolog sebenarnya tidak diperkuat oleh patukan merpati. Merpati melanjutkan hubungan dengan lingkungan fisik. Karena tak ada hubungan timbal balik, Homans mendefinisikan hubungan demikian sebagai perilaku individual. Homans menyerahkan studi perilaku seperti itu kepada psikolog, dan ia mendesak agar sosiolog harus mempelajari perilaku sosial “di mana aktivitas pihak lain dan dengan demikian saling mempengaruhi. Menurut Homans, yang penting adalah bahwa tak diperlukan proposisi baru untuk mejelaskan perbedaan perilaku sosial dan perilaku individual. Hukum perilaku individual seperti yang dikembangkan Skinner dalam studinya tentang merpati akan menerangkan perilaku sosial selama kita memperhatikan komplikasi penguatan mutualnya. Homans mengakui bahwa dengan berat hati akhirnya ia terpaksa meninggalkan prinsip yang berasal dari Skinner.
Dalam karya teoritisnya, Homans membatasi diri pada interaksi kehidupan sehari-hari. Namun, jelas ia yakin bahwa sosiologi yang dibangun berdasarkan prinsip yang dikembangkannya akhirnya akan mampu menerangkan semua perilaku sosial. Dalam hal ini Homans menggunakan contoh jenis hubungan pertukaran yang menjadi sasaran perhatiannya. Berdasarkan dari pemikirannya terhadap Skinner, Homans mengambangkan beberapa proposisi antara lain adalah:
Proposisi Sukes. Ada beberapa hal yang ditetapkan Homans menganai proposisi sukses. Pertama, meski umumnya benar bahwa makin sering hadiah diterima menyebabkan makin sering tindakan dilakukan, namun pembahasan ini tak dapat berlangsung tanpa batas. Di saat individu benar-benar tak dapat betindak seperti itu sesering mungkin. Kedua, makin pendek jarak waktu antara perilkau dan hadiah, makin besar kemungkinan orang mengulangi perilaku, dan begitu pual sebaliknya. Ketiga, menurut Homans, pemberian hadiah secara intermiten lebih besar kemungkinannya menimbulkan perulangan perilaku ketimbang menimbulkan hadiah yang teratur. Hadiah yang teratur menimbulkan kejenuhan dan kebosanan, sedangkan hadiah yang diterima dalam jarak waktu yang tek teratur sangat mungkin menimbulkan perulangan perilaku.
Proposisi Pendorong. Homans tertarik pada proses generalisasi dalam arti kecenderungan memperluas perilaku keadaan yang serupa. Aktor mengkin hanya akan melakukan sesuatu dalam keadaan khusus yang terbukti sukses di masa lalu. Bila kondisi yang menghasilkan kesuksesan itu terjadi terlalu ruwet maka kondisi serupa mungkin tidak akan menstimulasi perilaku. Bila stimuli krusial muncul terlalu lama sebelum perilaku depirlukan maka stimuli itu benar-benar tak dapat merangsang perilaku. Aktor dapat menjadi terlalu sensitif terhadap stimuli terutama jika stimuli itu sangat bernilai bagi aktor. Kenyataannya aktor dapat menanggapi stimuli yang tak berkaitan, setidaknya hingga situasi diperbaiki melalui kegagalan berulang kali. Semuanya ini dipengaruhi oleh kewaspadaan atau derajat perhatian individu terhadap stimuli.
Proposisi Nilai. Disini Homans memperkenalkan konsep hadiah dan hukuman. hadiah adalah tindakan dengan nilai positif; makin tinggi nilai hadiah, makin besarkemungkinan mendatangkan perilaku yang diinginkan. Hukuman adalah tindakan dengan nilai negatif; makin tinggi nilai hukuman berarti main kecil kemungkinan aktor mewujudkan perilaku yang tak diinginkan. Homans menemukan bahwa hukuman merupakan alat yang tak efisien untuk membujuk orang mengubah perilaku mereka karena orang dapat bereaksi terhadap hukuman menurut cara yang tak diinginkan. Sebenarnya lebih abik tak memberikan hadiah terhadap perilaku yang tak diinginkan; perilaku demikian akhirnya akan dihentikan. Hadiah jelas lebih disukai, tetapi persediaannya mungkin sangat terbatas. Homans menjelaskan bahwa teorinya sebenarnya bukanlah teori hedonistis; hadiah dapat berupa ameri atau altruistis.
Proposisi Deprivasi-Kejenuhan. Dalam hal ini Homans mendefinisikan dua hal penting lainnya: biaya dan keuntungan. Biaya tiap perilaku didefinisikan sebagai hadiah yang hilang karena tidak jadi melakukan sederetan tindakan yang direncanakan. Keuntungan dalam pertukaran sosial dilihat sebagai sejumlah hadiah yang lebih besar yang diperoleh atas biaya yang dikeluarkan. Yang terakhir ini menyebabkan Homans menyusun kembali proposisi kerugian-kejemuan sebagai berikut: “makin besar keuntungan yang diterima seseorang sebagai hasil tindakannya, makin besar kemungkinan ia melaksanakan tindakan itu”.
Proposisi Persetujuan-Agresi. Kita akan kaget menemukan konsep frustasi dan marah dalam karya Homans karena konsep itu rupanya mengacu pada keadaan mental. Homans menembahkan, bila seseorang tak mendapatkan apa yang ia harapkan, ia dikatakan menjadia kecewa, frustasi. Pengamat behaviorisme yang mempertahankan kemurnian bahasa, sama sekali takkan mengacu pada…keadaan mental. Homans lalu menyatakan bahwa frustasi terhadap harapan eperti itu, tak selalu “hanya” mengacu pada keadaan internal.kekecewaan dapat pula mengacu pada seluruh kejadian eksternal, yang tak hanya dapat diamati oleh Parson saja tetapi juga oleh orang lain.
Proposisi Rasionalitas. Homans menghubungkan proposisi rasionalitas dengan proposisi kesuksesan, dorongan, dan nilai. Proposisi rasionalitas menerangkan kepada kita bahwa apakah orang akan melakukan tindakan atau tidak tergantung pada persepsi mereka mengenai peluang dan sukses. Tetapi, apa yang menentukan persepsi ini? Homans menyatakan persepsi mengenai apakah peluang sukses tinggi atau rendah ditentukan oleh kesuksesan di masa lalu dan kesamaan situasi kini dengan situasi kesuksesan di masa lalu. Proposisi rasionalitas juga tak menjelaskan kepada kita mengapa seorang aktor menilai satu hadiah tertentu lebih daripada hadiah yang lain, Homans menghubungkan prinsip rasionalnya dengan proposisi behavioristiknya.

Teori Pertukaran Peter Blau
Tujuan Peter Blau adalah untuk “memahami struktur sosial berdasarkan analisis proses sosial yang mempengaruhi hubungan antara individu dan kelompok.. Blau bermaksud menganalisis struktur sosial yang lebih kompleks, melebihi Homans yang memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk kehidupan sosial mendasar. Blau memusatkan perhatian kepada proses pertukaan yang menurutnya mengatur kebanyakan perilaku manusia dan melandasi hubungan antarindividu maupun kelompok. Blau membayngkan empat langkah berurutan, mulai dari pertukaran antara pribadi ke struktur sosial hingga ke perubahan sosial:
Langkah 1: Pertukaran atau transaksi antarindividu yang meningkat ke…
Langkah 2: Diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke…
Langkah 3: Legitimasi dan pengorgansasian yang menyebarkan bibit dari…
Langkah 4: Oposisi dan perubahan.
Mikro ke Makro. Di tingkat individual Blau dan Homans tertari pada hal yang sama. Tetapi, konsep pertukaran sosial Blau terbatas pada tindakan yang tergantung pada reaksi pemberian hadiah dari orang lain-tindakan yang segera berhenti bila reaksi yang diharapkan tidak kunjung datang. Orang saling tertarik karena berbagai alasan yang membujuk untuk membangun kelompok sosial. Segera setelah ikatan awal dibentuk, hadiah yang saling mereka berikan adakn membantu mempertahankan dan meningkatkan ikatan. Situasi sebaliknyapun mungkin terjadi: karena hadiah yang dipertukarkan dapat berupa sesuatu yang bersifat intrinsik seperti cinta, kasih sayang dan rsaa hormat, atau sesuatu yang berniali ekstrinsik seperti uang dan tenaga kerja fisik. Orang yang teerlibat dalam ikatan kelompok tak selalu dapat saling memberikan hadiah secara setara. Bila terjadi ketimpangan dalam pertukaran hadiah, maka akan timbul perbedaan kekuasaan dalam kelompok.
Norma dan Nilai. Menurut Blau, mekanisme yang menengahi antara struktur sosial yang kompleks itu adalah norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Ada mekanisme lain yang menengahi antara struktur sosial, tetapi Blau memusatkan perhatian pada konsensus nilai. Menurutnya konsensus nilai mengganti pertukaran tak langsung dengan pertukaran langsung. Seorang anggota menyesuaikan diri itu dan mendapat persetujuan implisit karena kenyataan bahwa penyesuaian diri memberikan kontribusi atas pemeliharaan dan stabilitas kelompok. Dengan kata lain, kelompok atau kolektivitas terlibat dalam suatu hubungan pertukaran dengan individu.