Proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) akhir-akhir ini yang berlangsung di beberapa daerah menunjukkan bahwa demokrasi semakin terasa dalam setiap pemilihan kepala daerah. Begitu maraknya hingga calon-calon yang bermunculan pun bervariatif, setiap calon yang diusung merupakan representasi atas sebagian kelompok atau golongan di masyarakat. Ada calon representasi dari kalangan rakyat kecil, ada juga representasi dari kalangan orang nasionalis, juga ada representasi dari kalangan orang religius. Sebagian masyarakat menganggap bahwa pilkada dapat membuat pemerintahan di daerah-daerah menjadi lebih kuat karena pemilihannya dilakukan secara langsung oleh warga setempat, dan calonnya pun juga harus putra daerah. Karakter sebagian masyarakat yang mudah didekati dengan menggunakan isu-isu religi membuat calon-calon kepala daerah menampilkan dirinya (mencitrakan dirinya) dalam iklan-iklan kampanye mereka dengan nuansa dan background religi. Sosok yang ingin ditampilkan adalah seorang pemimpin yang religius, dengan menggunakan simbol-simbol agama, sebagai contoh dalam pilgub Jatim sosok Pakde Karwo telah jauh-jauh hari sebelum masa Pilgub menampilkan iklan pencitraan dirinya dengan mengeluarkan album shalawat kontemporer dimana dalam iklan tersebut ditampilkan Pakde Karwo sedang berdoa dan bercengkrama dengan anak-anak kecil di masjid. Serta Soenarjo yang merupakan Wakil Gubernur Jatim menampilkan suatu acara yang tayang dalam bulan Ramadhan setiap menjelang buka puasa di JTV yang bernama “pitutur luhur“, dimana acara tersebut berisi nasehat-nasehat luhur dari tradisi orang jawa, backgroundnya yang seorang dalang membuat dirinya memaksakan untuk mencitrakan menjadi religius. Dalam hal ini Soenarjo tidak sendirian, Achmady yang merupakan bupati Mojokerto juga tak mau ketinggalan, sebelum acara “pitutur luhur“ Soenarjo tayang maka sebelumnya lebih dulu tayang acara Achmady, yang kurang lebih isinya sama yakni ceramah agama, bedanya apa yang disampaikan Achmady lebih bernuansa religi karena bukan nasehat luhur orang jawa namun ceramah yang disertai dalil-dalil.
Disini media massa menjadi instrumen penting dalam mengakomodasi iklan kampanye para calon kepala daerah tersebut, selama bulan Ramadhan iklan kampanye para calon Gubernur tidak pernah absen tampil di JTV, momen ramadhan dijadikan sebagai saat untuk berlomba-lomba meraih popularitas dan dukungan bukan berlomba-lomba memperoleh pahala dan ampunan. Di jalanan, banner-banner ikut menghiasi keindahan kota, dalam banner tersebut ada beberapa gambar yang di tampilkan dengan simbol-simbol agama, misalnya gambar para calon kepala daerah yang memakai peci, kemudian ada yang diantara gambar kedua calon, ditengah-tengahnya terdapat gambar seorang kiai, hal tersebut memberikan legitimasi kuat bagi pasangan calon tersebut. Seperti yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur khususnya di daerah “tapal kuda“ yang merupakan basis massa santri, dimana patronase kiai sangat kuat di lingkungan pesantren dan juga di luar lingkungan pesantren. Fungsi identitas dan perekat kelompok dan legitimasi dari agamalah yang tampaknya sangat menonjol dalam masyarakat kita dewasa ini. Pada satu pihak, kedua fungsi ini memang tak dapat dihindarkan karena inheren dalam agama apa pun, tapi bila terlalu menonjol dan mengabaikan peran kenabian dan penghayatan agama secara substansial, maka dapat diduga faktor nonagama telah melakukan intervensi. Fenomena agama lebih berfungsi sebagai alat kohesi kelompok dan pemberi legitimasi atas kekuasaan dan kebijakan publik, ini terjadi karena agama dijadikan sebagai alat politik untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi. Bila agama dilihat dari jumlah penganutnya, bukan bagaimana penghayatannya secara substansial, maka agama telah dijadikan sarana kekuasaan. Agama sebagai alat politik ini dapat saja dilakukan oleh tokoh masyarakat dan tokoh politik, tapi juga tak jarang oleh tokoh pemerintahan. Agama sebagai alat politik seperti ini akan menjadi subur bila dalam realita kehidupan masyarakat terdapat kesenjangan ekonomi dan politik yang sangat lebar. Tak dapat disangkal betapa kesenjangan ekonomi (antara industri dan pertanian, perdagangan dan pertanian, kota dan desa, antara pusat dan daerah, dan antargolongan) dan kesenjangan politik (penguasa dan rakyat) sangat nyata baik secara objektif (menurut ukuran objektif) maupun secara inter-subjektif (yang dirasakan orang per orang).
Seperti yang dipaparkan oleh Jean Baudrillard, bahwa saat ini merupakan masa imagology atau pencitraan. Semua yang ditampilkan adalah citra. Masyarakat hanya mengejar image semata. Begitu pula dengan para kandidar kepala daerah yang berlomba-lomba mengejar citra “positif“ di hadapan masyarakat yang hendak dipimpinnya. Citra sebagai sosok pemimpin yang bijaksana dan religius adalah pencitraan utama yang hendak diperilhatkan kepada publik. Dengan kalimat-kalimat yang disampaikan penuh kelembutan serta berbobot dan penuh nasehat, Soenarjo mencoba mencitrakan dirinya sebagai sosok yang memiliki keluhuran budi pekerti dan kebijaksanaan seorang pemimpin. Tak hanya itu, jam tayang acaranya pun tepat saat bulan Ramadhan dan beberapa menit saja sebelum buka puasa, sehingga pemilihan waktu tersebut membuat seakan dirinya adalah tokoh agama yang memberikan semacam kultum menjelang berbuka puasa, seperti bagaimana lazimnya di stasiun-stasiun televisi lainnya yang menyiarkan kultum dari Ustadz dan Ulama yang ternama setiap menjelang berbuka puasa. Hal yang sama juga dilakukan Achmady yang seolah tak mau ketinggalan, dirinya juga berupaya menmpilkan citra seorang santri NU yang fasih berceramah lazimnya seorang yang religius. Mengingat sosoknya yang masih kalah populer dibandingkan kandidat lainnya. Dalam hal ini, Achmady yang didukung oleh Gus Dur menjadi ikon dari masyarakat tradisional NU di Jatim, sehingga dengan basis massa yang kuat diharapkan Achmady dapat mendulang suara yang cukup signifikan dalam persaingan dengan kandidat lainnya. Pakde Karwo adalah kandidat yang paling sibuk mencitrakan dirinya sebagai sosok pemimpin yang ideal karena dicitrakan sebagai seorang yang religius dan bijaksana. Tayangan-tayangan yang dicitrakan dalam iklan politiknya seakan mengajak publik untuk memahami bahwa Pakde Karwo adalah sosok yang dekat dengan rakyat kecil, memiliki religusitas yang baik, dan sebagai birokrat yang berpengalaman. Sebagai kandidat yang paling terakhir maju, Khofifah Indar Parawansa, juga menayangkan pencitraan dalam iklan politiknya saat Ramadhan dengan berceramah saat waktu mejelang berbuka puasa. Namun sedikit berbeda latar yang digunakan dalam iklan tersebut adalah kota Mekkah dan segala tempat sakral bagi ummat Islam seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Makam Nabi. Semua di jadikan sebagai legitimasi untuk memperkuat pencitraan terhdadap dirinya sebagai pemimpin yang religius. Dari keempat tokoh tersebut, seluruhnya berupaya menampilkan sosok yang religius. Pencitraan yang ditampilkan adalah kealiman dan kedalaman ilmu agama. Citra yang ingin ditampilkan adalah religiusitas. Karena hal tersebut membuat masyarakat lebih mempercayai sosok pemimpin yang ideal. Namun sedikit berbeda dari keempat kandidat tersebut, pasangan Soecipto dan Ridwan Hisjam tidak menampilkan iklan politik yang mencitrakan diri mereka sebagai sosok pemimpin yang religius. Namun pada akhirnya mereka harus kalah pada putaran pertama. Lalu kira-kira siapakah calon pemimpin yang akan menjadi Gubernur Jawa Timur lima tahun mendatang?
my taste, my soul, my ideas....
About Me
- Muif Taste
- Surabaya Hero City, East Java, Indonesia
- Anak sulung dari dua bersaudara yang dilahirkan pada 11 Juni 1987 di Surabaya , Sedang menyelesaikan kuliah sisologi
Pengikut Blogku
Categories
- ajib (1)
- Method (1)
16.22
PILKADA DAN AGAMA: Sebuah pencitraan calon kepala derah dalam iklan politik
Diposting oleh Muif Taste
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar