04.08

Religi Tokugawa

Pada Pertempuran Sekigahara (1600), Tokugawa Ieyasu unggul secara menentukan atas gabungan lawan-lawannya dan dengan demikian memantapkan dirinya sebagai penguasa tertinggi di seluruh Jepang. Pertempuran ini dianggap orang sebagai saat yang menandai awal masa Tokugawa, sedangkan jatuhnya Shogun Tokugawa terakhir dan berlakunya pemerintahan langsung oleh Kaisar Meiji (1868) menandai akhir masa itu.
Garis besar struktur sosial masa Tokugawa ini meliputi sistem nilai, politik, ekonomi,integrasi, dan motivasional. Sistem nilai di Jepang dicirikan oleh pengutamaan nilai-nilai politis. Nilai-nilai itu dapat ditentukan artinya dengan kombinasi variabel pola partikularisme dan prestasi. Yang dipentingkan disini adalah sistem khusus (partikular) atau kolektivitas di mana seseorang menjadi anggota baik han (satu unit teritorial di bawah seorang adipati feodal) atau Jepang secara keseluruhan. Pentingnya kolektivitas dan hubungan partikularistik seseorang pada masa Tokugawa tampak dari kenyataan sangat pentingnya kedudukan simbolis kepala kolektivitas (kepala keluarga, tuan feodal, atau kaisar). Dengan kata lain, ikatan partikularistk seseorang dilambangkan sebagai kesetiaan kepada kepalanya. Kesetiaan ini adalah kesetiaan kepada status daripada kepada seorang pribadi tertentu.
Sedangkan pentingnya prestasi tergambar dalam keluarga. Tingkat prestasi yang sangat intensif dituntut dari anak-anak dengan memberikan ancaman untuk tidak mendapat warisan bila mereka tidak pandai. Kesetiaan di Jepang tidak hanya mengandung arti kepatuhan pasif, melainkan pengabdian aktif dan prestasi.
Dalam ruang lingkup budaya, terdapat dua macam kelompok nilai. Kelompok pertama adalah nilai yang berkaitan dengan penghargaan kepada yang tertulis, buku-buku, guru serta pendidikan pada umumnya. Nilai-nilai itu dijunjung tinggi karena hasil-hasilnya dalam tindakan. Seseorang yang sungguh-sungguh terpelajar akan juga menjadi seseorang yang sungguh-sungguh setia dan patuh kepada keluarganya. Pertimbangan-pertimbangan seperti ini juga berlaku dalam religi.
Kelompok nilai budaya yang kedua disebut sebagai nilai estetis-emosional. Nilai-nilai ini cenderung merupakan tujuan pada dirinya sendiri daripada ditundukkan kepada nilai-nilai sentral. Nilai-nilai ini tidak berpusat pada tujuan-tujuan kolektif, tetapi pada pengalaman pribadi.
Nilai-nilai yang ada pada seluruh masyarakat Jepang dapat diterapkan pada keluarga. Nilai tertinggi dalam keluarga adalah kepatuhan anak. Keluarga Jepang dipandang sebagai sesuatu yang diteruskan secara berkelanjuatan dari leluhur jaman dulu. Penghormatan terhadap orang tua ditempatkan dalam konsep yang lebih luas, yakni penghormatan terhadap leluhur. Keluarga adalah pusat latihan keutamaan sosial, keluarga cenderung merupakan satuan dari masyarakat bukan individu. Nilai tersebut menjadi sebuah pandangan bahwa anak yang patuh kepada orang tua akan bisa menjadi pegawai yang setia.
Garis besar struktur sosial berikutnya pada masa Tukogawa adalah sistem politik. Pada sistem politik Jepang masa Tokugawa terdapat nilai kesetiaan yang kuat. Kesetiaan yang mewajibkan dan dominan terhadap otoritas politik harus dilihat dalam konteks gagasan tentang on. Otoritas politik berkewajiban melimpahkan berkat (on) kepada rakyat yang dibawahinya. Bentuk nyata dari konsep ini dalam kaitannya dengan golongan samurai adalah diberikannya gaji kepada mereka, walaupun sebetulnya arti konsep itu jauh lebiih luas. Misalnya salah satu berkat yang dilimpahkan oleh shogunat kepada seluruh rakyat adalah kedamaian.
Selaras dengan konsep on adalah konsep hoon atau on yang ditambah. Konsep ini menyangkut kewajiban umum untuk menghormati dan mentaati aturan-aturan pemerintah. Adanya papan pengumuman resmi tempat menempelkan ketetapan atau peraturan terakhir dari bakufu (pemerintahan tenda yang biasanya bergantian dengan kata ‘keshogunan’).
Masa Tokugawa ditandai oleh suatu sistem kelas yang resmi dan urun temurun. Kerangka utamanya dapat ditarik dari sistem nilai yang berlaku bahwa prestise berhubungan secara langsung dengan kekuasaan. Kekuasaan yang menentukan status bukan kekayaan. Berada di titik puncak sistem itu adalah kaisar, shogun dan tuan tanah feodal. Satu tingkat di bawahnya adalah samurai atau kaum bushi, yang berkedudukan tinggi karena dia melaksanakan kekuasaan politik baik di bidang militer maupun di jabatan sipil. Di atas adalah sang penguasa dan dibawah adalah yang terkuasai. Tingkat kedudukan rakyat jelata diatur sesuai dengan pandangan tradisional, yaitu berdasarkan produktivitas mereka. Diantara kelas tersebut terdapat mobilitas, bebeapa pedagang mendapatkan status samurai sebagai balas jasa atas pengabdian yang luar biasa kepada pemerintah, beberapa samurai memutuskan menanggalkan statusnnya untuk menjadi pedagang. Namun, mobilitas lebih banyak terjadi di dalam kelas, bukan antar satu kelompok kelas yang lain. Dengan berjalannya waktu, pemilikan kekayaan cenderung semakin lama semakin tidak ada hubungannya dengan posisi dalam hirarki kelas. Kaum pedagang pada khususnya menjadi semakin kaya sementara kelas samurai mengalami proses pemiskinan.
Dalam sistem nilai, penggunaan uang sebagai alat tukar menukar atau jual beli dalam lingkkup nasional untuk pertama kalinnya dibakukan pada masa Tokugawa. Pada masa ini memang masa terjadinya perluasan dan diferensiasi ekonomi Jepang yang terus berlanjut. Kebutuhan akan modal untuk memenuhi kebutuhan belanja sangatlah besar dalam ekonomi seperti yang berlaku juga di Jepang pada masa Tokkugawa. Beberapa pedagang kaya pada masa itu mengkhususkan diri memberikan pinjaman hanya kepada daimyo (tuan tanah penguasa han) yang hutangnya seringkali menumpuk dalam jumlah yang sangat besar. Pinjaman jenis ini menarik untuk mereka yang bermodal karena tingkat bunganya tinggi. Beberapa rumah pedagang besar dan terutama tempat pertukaran uang berkembang menjadi lembaga yang melaksanakan banyak fungsi bank. Mereka menerima deposito, mengeluarkan surat wesel, dan sebagainya.
Dalam sistem integrasi, tingkat keterikatan masyarakat pada tradisi sangat tinggi pada masa Tokugawa. Hal ini mennyebabkan masyarakat tidak terbuka bagi pembaharuan atau sedikit sekali memungkinkan adanya keragaman. Ini merupakan hal penting bagi sistem integrasi karena formalisasi itu dalam banyak situasi menyingkirkan kemungkinan konflik. Faktor yang mendukung kesetiaan kepada bentuk-bentuk yang telah ditentukan adalah prinsip kepada bentuk-bentuk kelompok. Keadaan ini menyebabkan identifikasi yang kuat dengan kolektivitas dan kecenderungan bagi semua subkolektivitas untuk mendukung moralitas dari keseluruhan kolektivitas, apa pun resikonya bagi mereka. Ini mungkin seperti yang diuraikan oleh Durkheim dan disebutnya sebagai solidaritas mekanik. Solidaritas ini sangatlah kuat dan merupakan mekanisme integrasi utama.
Dalam sistem motivasional di sini mengacu kepada pengaturan motivasi pribadi dalam kaitannya dalam sistem sosial. Di satu pihak, keterikatan terhadap nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan fungsional dalam sistem sosial, dan di pihak lain ketegangan yang mmuncul dalam pribadi dengan cara demikian sehingga tersedia saluran pelepasan tanpa harus membahayakan fungsi sistem sosial. Sosialisasi merupakan fungsi yang sangat penting dari sistem motivasional. Yang merupakan proses yang dilewati oleh individu untuk akhirnya dapat menginternalisasikan norma-norma moral dan menjadikannya terikat kepada pola-pola kelembagaan. Seperti dalam semua masyarakat, keluarga merupakan fokus utama sosialisasi.
Yang berhubungan dengan pengaturan motivasi adalah kesadaran akan perlunya keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Selain itu, yang mengatur motivasi adalah keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Arti penting negara dan pengabdian kepada atasan yang merupakan ciri masa Tokugawa tidak bisa dipungkiri telah menyebabkan didahulukannya kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
Sistem motivasi sangan berhubungan dengan religi. Religi memberikan konteks makna fundamental kepada sistem nilai dasar melalui kenyataan bahwa kolektivitas utama dalam masyarakat dipandang sebagai lembaga religius dan juga lembaga sekular. Kesetiaan kepada kolektivitas dan pimpinannya tidak hanya mempunyai arti keduniaan tetapi juga satu arti keabadian. Pemenuhan kewajiban kepada mereka dari satu sisi dapat diartikan sebagai kewajiban religius.
Religi Jepang sebagai satu entitas dalam perwujudannya terdapat banyak sekali keragaman. Terutama menjelang masa-masa Tokugawa sangat benyak peminjaman yang terjadi antar bermacam religi besar sehingga orang dapat menyatukan beberapa elemen yang umum terdapat di semua religi kemudian memberinya label ‘religi Jepang’.
Religi Jepang mempunyai dua konsep dasar mengenai keTuhanan. Yang pertama adalah Tuhan sebagai suatu entitas lebih tinggi yang memelihara, memberikan perlindungan, dan cinta. Contohnya, mencakkup dewa-dewa langit dan bumi dari penganut Konfusius, Amida dan Budha-budha yang lain, dewa-dewa Shinto, selain para dewa pelindung lokal dan para nenek moyang. Tindakan-tindakan religius yang ditujukan kepada entitas-entitas ini bercirikan sikap hormat, syukur atas rahmat yang diterima dari mereka, dan usaha-usaha untuk membelas rahmat tersebut.
Konsep dasar yang kedua, yang tidak dianggap sebagai konsep yang bertentangan dengan konsep yang pertama adalah bahwa dia merupakan dasar dari segala yang ada atau inti terdalam dari realitas. Contohnya adalah tao cina, li dari neo-Konfusius yang sering diterjemahkan sebagai nalar, dan hsin (hati, pikiran).
Kegiatan yang berkaitan dengan dewa sebagai unsur mahatinggi yang mulia membawa pada teori on. Tuhan dalam beberapa bentuknya memberikan berkah (on) dan merupakan kewajiban penerimanya untuk membalas berkah tersebut (hoon). Kegiatan religius dianggap sebagai upaya membalas karunia dari Tuhan yang mahatinggi banyak didasarkan kepada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Hanya dengan bantuan yang serba pemurah mereka bisa hidup, dan rahmat yang diterimanya juga jauh lebih besar dari kemampuannya untuk membalasnya, sehingga karena itu dia hanya akan dapat memberikan balasan yang sangat kecil dan tidak berarti. Dengan membaktikan dirinya sepenuhnya hanya pada upaya membalas karunia ini maka dia dapat meyakinkan bahwa upaya itu terus berlanjut, dengan demikian berarti dia sudah dapat dikatakan menyelamatkan diri dari kelemahan.
Selain itu, kegiatan religius utama adalah upaya untuk dapat menyatu dengan Tuhan yang dipandang sebagai ‘Keabadian Yang Maha Besar’. Kegiatan jenis ini mempunyai dua bagian utama. Yang pertama adalah yang berusaha untuk mencapai kemanunggalan melalui latihan-latihan atau pengalaman-pengalaman keagamaan khusus, atau melalui penarikan diri dari dunia. Secara teoritik, pendekatan ini nampaknya merupakan cara untuk menghancurkan diri sebagai entitas ontologis, untuk menghancurkan dikotomi antara subyek dan obyek. Yang kedua adalah kegiatan-kegiatan etis dalam bentuk ‘kegiatan-kegiatan karitas’ atau tindakan-tindakan yang menjadikan dia hidup dengan benar. Secara teoritik, pendekatan ini merupakan satu cara untuk mencapai kemanunggalan melalui penghancuran diri sebagai entitas etika, dengan menghancurkan batas antara diri dan orang lain, dengan kata lain menghancurkan sifat mementingkan diri.
Teologi untuk suatu religi ketaatan kepada orang tua ditarik sepenuhnya dari elemen-elemen sistem religi umum. Religi keluarga yang sangat umum dianut di Jepang sebenarnya adalah pemujaan kepada leluhur. Setiap keluarga mempunyai kuil keluarga yang biasanya berjumlah dua, satu kuil Shinto dan satu kuil Budha. Biasanya dalam kuil Budha itu disimpan barang-barang yang berasal dari para leluhur, disamping patung atau simbol para dewa. Upacara singkat selalu dilakukan di kuil itu, sekali di waktu pagi dan sekali di waktu sore dengan cara menghidupkan lampu dan mempersembahkan sejumlah makanan. Kultus leluhur ini merupakan cara untuk terus menerus mengingatkan arti suci garis leluhur dan tanggung jawab semua anggota keluarga terhadapnya.

0 komentar: