15.00

Teori dan konsep Wacana

Analisis Wacana

Daniel Sparingga

Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Airlangga


Teori dan konsep Wacana


Istilah wacana yang diterjemahkan dari kata discourse itu secara luas digunakan dalam teori dan analisis sosial untuk merujuk berbagai cara menstrukturkan pengetahuan (knowledge) dan praktek sosial (Social Practice) (Brown and Yule, 1983; Coulthard, 1977). Seperti yang dikemukakan oleh Faircoulgh (1992), wacana termanifestasikan melalui berbagai bentuk khusus penggunaan bahasa dan simbol lainnya. Wacana, karena itu, tidak dapat dilihat sebagai sebuah cerminan atau perwakilan dari entitas dan hubungan sosial, melainkan sebagai sebuah konstruksi atau semua itu. Wacana yang berbeda mengkonstruksi entitas kunci secara berbeda pula. Bisa dimengerti apabila wacana yang berbeda selalu memposisikan orang dalam cara yang berbeda sebagai subjek sosial. Ikhwal inilah yang menjadi pusat perhatian dari sebuah analisis wacana. Dengan perkataaan lain, analisis wacana menekankan pada kajian bagaimana sebuah realitas sosial dikonstruksikan melalui bahasa dan simbol lainnya menurut cara-cara yang tertentu dan yang dipahami sebagai sebuah usaha sistematis untuk menimbulkan efek yang khusus.
Konsep wacana memang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran sentral Foucault (1972, 1979, 1980, 1990) yang melihat realitas sosial sebagai arena diskursif (discursive field) yang merupakan kompetisi tentang bagaimana makna dan pengorganisasian institusi serta proses-proses sosial itu diberi makna melalui cara-cara yang khas. Dalam pengertian yang demikian ini, ”wacana merujuk pada berbagai cara yang tersedia untuk berbicara atau menulis untuk menghasilkan makna yang didalamnya melibatkan beroperasinya kekuasaan untuk menghasilkan objek dan efek tertentu ” (Weedon, 1987: 108). Dengan kata lain, wacana melekatkan apa yang didefinisikan sebagai pengetahuan (knowledge) dan karena itu, juga kekuasaan (power).
Bagi Foucault (1979: 27), kekuasaan (power) selalu berimplikasi pada pengetahuan (knowledge). Begitupun sebaliknya, tidak ada pengetahuan yang tidak berkorelasi dengan kekuasaan. Bagi Foucault, power/knowledge, dalam ekspresi yang berbeda, Foucault ingin menegaskan bahwa penguasaan kekuasaan menciptakan objek-objek baru pengetahuan dan sistem informasi. Pada gilirannya, pengetahuan secara konstan memproduksi efek-efek kekuasaan. Menurut Foucault (1980: 131), tidak ada pengetahuan yang dapat dibentuk tanpa sistem komunikasi, akumulasi dan pengorganisasian catatan yang tidak lain adalah merupakan bentuk kekuasaan yang berhubungan, dalam keberadaan dan fungsinya, dengan bentuk-bentuk kekuasaan lainnya. Sebaliknya, tidak ada kekuasaan dapat diwujudkan tanpa ekstrasi, penambahan, distribusi, atau penyimpangan pengetahuan.
Wacana, secara umum sungguh sangat berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar berikut ini: bagaimanakah sebuah pernyataan lebih mengemuka daripada yang lain? (Foucault, 1972: 27). Setiap wacana, karena itu, harus dilihat dalam konteks yang didalamnya sedang mengoperasikan prosedur dan peraturan yang khas. Melalui ini, wacana selalu menyertakan sebuah paket tentang kondisi-kondisi yang membuat sesuatu menjadi mungkin dan kendala-kendala institusional serta aturan-aturan internal tentang apa yang dapat dan tak dapat dikemukakan. Pemahaman tentang ikhwal ini sangat penting untuk mengerti bagaimana apa yang dikemukakan dalam sebuah pernyataan atau teks itu sesuai dengan seluruh jaringan yang di dalamnya memiliki sejarah dan kondisinya sendiri tentang keberadaannya –sebuah sejarah yang tentu saja berbeda maknanya dengan yang digunakan para filsuf dan sejarahwan (Barret, 1991: 126). Hasilnya, menurut Flax (1992) setiap wacana selalu memuat sesuatu yang memungkinkan (enabling) dan membatasi (limiting).
Mengikuti pemikiran Foucault (1979, 1980), Flax (1992) melihat bahwa aturan-aturan yang terdapat dalam sebuah wacana memungkinkan orang memproduksi sebuah pernyataan dan menghasilkan klaim kebenaran atasnya. Walaupun begitu, aturan-aturan itu pula lah yang mengharuskan orang untuk tetap berada di dalam sistem yang sedang beroperasi dan hanya menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan aturan-aturan itu. Karena itu, “sebagai sebuah kesatuan”, wacana tidak pernah salah atau benar karena kebenaran yang diproduksi selalu kontekstual dan bergantung pada aturan-aturan yang berlaku” (Flax, 1992: 452).
Hal terpenting lainnya yang patut dicatat dalam memahami wacana adalah beroperasinya proses inklusi/eksklusi. Formasi wacana untuk tidak pernah merupakan sekedar urutan pernyataan sebagaimana lazimnya ditemukan dalam pemahaman klasik kita tentang gagasan, buku, sekolah dan semacamnya. Dalam setiap wacana selalu ada sistem yang mengorganisasikan pengetahuan (dan karena itu “kebenaran”, dan karena itu pula “realitas sosial”) dalam sebuah hierarkhi. Susunan hierarkhi inilah yang secara sistematis menempatkan apa-apa saja yang dianggap patut –tak patut, benar-salah, betu-keliru ke dalam makna-makna partikular menurut definisi dan aturan yang beroperasi dalam wacana itu (Sparingga, 1997). Dalam prakteknya,aturan yang beroperasi dalam wacana itu selalu melibatkan konsep yang oleh Edward Said (1978) disebut dengan “other” –sebuah konstruksi realitas yang menempatkan kebenaran secara biner, berhadap-hadapan, frontal dalam sebuah spektrum dimana yang satu atau mendevaluasi (devalue), atau memarjinalkan (marginalise), atau bahkan membungkamkan (silencing) yang lain.


Analisis Wacana : Sebuah Implikasi Metodologis

Implikasi dari uraian-uraian teoritis tentang wacana sebagaimana dikemukakan di atas tadi membawa kita pada sebuah posisi metodologis yang tentu untuk membantu usaha pemahaman kita tentang ikhwal ini. Berikut akan saya kemukakan pokok-pokok pemahaman tentang bagaimana analisis wacana sebagai sebuah metode bekerja. Penyebutan beberapa contoh, bilamana dianggap perlu, akan diberikan untuk memperjelas beberapa pengertian dasar.
1. Dalam pengertian yang luas: bahasa, atau, dalam pengertian yang lebih sempit: kalimat, kata-kata (berikut struktur, susunan, dan pilihan kata, atau bahkan intonasi pengekspresiannya), baik yang dikemukakan secara lisan maupun tulis merupakan wacana. Tidak ada bahasa, baik dalam pengertian yang luas maupun yang sempit, yang tidak berkaitan dengan wacana tertentu. Dalam bentuk yang sangat ekstrim, ”setiap kata mewakili sebuah wacana”. Perhatikan contoh-contoh berikut ini –setiap kata mewakili sebuah wacana:
(a) Kepentingan Nasional (b) Objektif
2. Dalam analisis wacana, selalu penting untuk memperhatikan tema sentral yang tersirat dalam kata (-kata) itu. Analisis wacana, dengan kata lain, selalu memperhatikan bagaimana sebuah kata itu diproduksi dalam sebuah konteks yang tertentu. Konteks lah yang melokalisasikan bagaimana kata itu berhubungan dengan kata-kata lainnya dan yang secara keseluruhan merupakan sebuah kompleksitas jaringan makna yang amat khusus. Perhatikan analisis berikut ini yang mencoba mengelaborasikan makna “kepentingan nasional” dalam sebuah nexus naratif yang sesungguhnya dibangun dari sebuah konsepsi Orde Baru tentang negara yang amat monolitik sekaligus hegemonik

Kepentingan Nasional Stabilitas Nasional Ideologi Nasional
Pembangunan Nasional Wawasan Nasional
Displin Nasional Kesetiakawanan Nasional Kepribadian Nasional
Kewaspadaan Nasional Ancaman Nasional


Perhatikan pula bagaimana istilah “objektif” yang tampatnya “netral” itu diproduksi oleh dan melalui wacana ”positivisme” –sebuah paradigma yang diadopsi dari pengalaman dan praktek ilmu eksak (science) yang memperlakukan dan melihat eksistensi objek ilmu sebagai berada diluar manusia dan yang karenanya senantiasa harus dapat dinyatakan dalam ukuran-ukuran yang tak dipengaruhi oleh kesadaran itu. Semua istilah yang disebut berikut ini, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama merupakan representasi dari beroperasinya wacana yang dituntun oleh paradigma itu.
Objektif Ilmiah Variabel Valid Realibel
Pengujian Teori Hipotesis Generalisasi
Definisi Operasional Indikator Pengukuran Standarisasi Pengukuran
Kuesioner Angket Wawancara Berstruktur
Indeks Skala Kuantifikasi Akurat Uji Statistik
Populasi Sampel Representatif Responden

3. Apa yang didemonstrasikan dalam butir (2) di atas sekaligus menegaskan, pertama, bagaimana analisis wacana memperlakukan bahasa sebagai bagian dari praktek sosial (social practice) dari pada semata-mata representasi dari aktivitas indivual. Kedua, analisis wacana menegaskan tentang bedanya hubungan dialektis di antara wacana dan struktur sosial sebagaimana juga dapat ditemukan dalam hubungan di antara praktek sosial dan struktur sosial. Yang disebut terakhir merupakan kondisi dan sekaligus efek dari yang disebut pertama. Ketiga, wacana dibentuk (shaped by) dan dikendalikan (constrained by) struktur sosial dalam pengertian yang seluas-luasnya dan dalam semua tatanan oleh klas dan berbagai hubungan sosial lainnya dalam masyarakat,oleh hubungan-hubungan spesifik yang terdapat dalam institusi sosial tertentu seperti hukum, pendidikan, oleh sistem klasifikasi, oleh norma dan berbagai konvensi lainnya. Wacana, karena itu, ditemukan secara beragam saling berkompetisi dan membentuk sebuah mosaik warna-warni, sebagian yang lain saling meniadakan. Dalam determinasi struktural, mereka bergantung pada domain sosial khusus (particular social domain) atau kerangka institusional (institutional framework) dari mana wacana itu dihasilkan. Keempat, pada sisi lain ,wacana adalah fundamental secara sosial. Artinya, wacana selalu melibatkan proses formasi objek, subjek dan konsep yang tidak saja secara pasif merepresentasikan realitas tetapi secara dialektis membuat realitas menjadi bermakna dengan mengkonstruksi realitas tersebut secara aktif.
4. Terdapat tiga hal penting dalam analisis wacana. Pertama, analasis wacana memberikan perhatian pada usaha mengidentifikasikan dua melokalisasikan identitas sosial dan posisi subjek. Kedua, analisis wacana membantu usaha mengkonstruksikan hubungan sosial di antara individu. Dan, ketiga, analisis wacana memberikan alat untuk mengkonstruksi sistem pengetahuan dan kepercayaan dua istilah yang dalam terminologi Marxis sering disebut dengan “ideologi”. Perhatikan pertanyaan berikut ini yang dikutip dari sebuah wawancara sebuah media dengan seorang pengusaha tambak udang:
Penjarahan itu jelas membuat kami merugi besar. Untuk kami, itu sama dengan sebuah perampokan dari pelecehan terhadap hukum yang berlaku. Orang-orang seperti itu tidak semestinya dibiarkan tanpa diambil tindakan yang keras, tegas dan segera.

Bandingkan dengan wawancara berikut ini dari peristiwa yang sama. Bedanya, kali ini adalah hasil wawacara dengan salah seorang penduduk sekitar yang ikut dalam apa yang oleh pengusaha tambak udang tersebut disebut dengan “penjarahan”:
Kami hanya mengambil bagian yang menurut kami merupakan hak kami. (Tambak-tambak) itu kan dulu punya kami yang dibeli dengan harga yang sama sekali tak sesuai. Apa yang kami lakukan tidak lebih hanya untuk memnuhi perut, bukan untuk mencetak uang. (Udang-udang yang kami ambil) itu adalah jatah kami.

Analisis Wacana:
Sebuah Kontras terhadap Metode Positivisme

Analisis wacana secara epistimologi menjadi bagian dari kekayaan khasanah metodologi kualitatif yang berperspektif posmodernisme. Ia beroperasi dengan sejumlah asumsi yang amat berbeda, untuk banyak hal bertentangan, dengan metode konvensional kuantitatif. Apabila metode kualitatif (yang asumsi-asumsi dasarnya tentang realitas amat ditentukan oleh paradigma positivisme itu) amat percaya pada kebenaran universal, metode kualitatif generasi akhir ini menjungkirbalikkan hampir seluruh kepercayaan dasar yang secara kukuh dipertahankan oleh paradigma positivisme. Beberapa perbedaan pokok di antara dua metode ini terletak di antaranya pada bagaimana mereka melihat individu dalam konteks sosial.
Bagi metode positive-kuantiantif, individu adalah representasi dari beroperasinya struktur sosial yang eksistensinya berada diluar kesadaran individu. Perilaku individu dalam konteks sosial, dalam pandangan paradigma ini, sepenuhnya dilihat sebagai hasil determinasi struktur atas individu. Individu dilihat sebagai aktor yang berperilaku, bahkan berperasaan, menurut script (naskah) yang terdapat dalam struktur. Apa yang dibayangkan sebagai struktur itu (yang didalamnya di antaranya berupa nilai, kepercayaan, ideologi, norma dan institusi) menjadi penentu tentang bagaimana individu merespon sebuah peristiwa sosial. Bisa dipahami apabila semangat utama dari penelitian yang berparadigma ini adalah memetakan pola-pola dan kecenderungan-kecenderungan umum tentang bagaimana struktur sosial yang berbeda itu menghasilkan disposisi dan perilaku individu, atau kelompok yang berbeda, ujung dari pengelanaan intelektual manusia semacam ini adalah ditemukannya dalil-dalil umum yang dihasilkan melalui upaya generalisasi atau fakta-fakta empiris yang dihasilkan melalui berbagai pengamatan yang terukur secara cermat dan yang terbandingkan dari satu tempat ketempat yang lain, dari satu waktu ke waktu lain.
Sementara itu, metode kualitatif berperspektif postmodernisme ini melihat realitas sosial dalam wajah-ganda (multifaces, multidimensional, multilayer, dan multitruth). Kebenaran tidak pernah tunggal dan selalu dipengaruhi oleh konteks yang didalamnya melibatkan proses evaluasi-reevaluasi, posisi-reposisi, dan negoisasi-renegoisasi. Individu tidak pernah dilihat sebagai agen yang secara aktif melakukan interpretasi atas struktur dan secara kreatif melakukan negoisasi terhadap makna yang dibangunnya menurut harapan-harapan dan pengalaman-pengalaman subjektifnya sebagai individu.
Dalam konteks sosial, individu selalu dilihat sebagai pribadi yang unik dan spesifik. Unik karena ia memiliki pengalaman-pengalaman yang khas, spesifik karena ia memiliki harapan-harapannya sendiri. dalam perspektif semacam ini, para penganut metode ini tidak pernah berhasrat untuk menemukan kedalaman (depth), kekayaan (richness), dan kompleksitas (complexity) dari sebuah realitas yang dilihatnya sebagai hasil konstruksi sosial melalui individu-individu yang secara aktif melakukan interpretasi subjektif dan intersubjektif atas struktur.
Untuk melakukan sebuah analisis wacana, karena itu, penguasaan teori dan konsep menjadi satu hal sentral. Teori-teori dan konsep-konsep tentang bagaimana sebuah realitas sosial itu bermakna secara sosial dalam sebuah nexus interaksi sosial dan kekuasaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari metode ini. Metode tidak lagi diperlukan semata-mata sebagai prosedur dan teknik, strategi, melainkan juga dan terutaman sebagai hasil. Sebagai penutup, teks yang dipelajari dalam analisis wacana selalu dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari usaha memahami indivdu (sebagai prosedur teks) yang tengah membangun makna dan menghadirkan realitas menurut konstruksi sosial dari mana ia menjadi bagian dan terlibat dalam prose itu. Teks, karena itu, selalu diperlakukan juga sebagai sebuah konteks yang merepresentasikan kompetisi makna yang amat majemuk dan yang selalu berimplikasi kepada hubungan yang berdimensi kekuasaan di antara prosedur teks dan audience yang untuk ketika yang lain juga menjadi prosedur teks.

Beberapa Latihan : Lokasisasi Wacana,(De/re)konstruksi dan Kompetisi Makna
1. Kelompokkanlah istilah-istilah berikut ini ke dalam dua kelompok yang masing-masing merepresentasikan wacana yang berbeda, bahkan mungkin berhadapan, tentang pembangunan. Setelah itu, buatlah sebuah narasi yang merefleksikan bagaimana masing-masing kelompok kata itu menghasilkan sederet ‘logika’ yang berbeda yang di dalamnya menyertakan sejumlah ekstrasi dan akumulasi ‘pengetahuan’ yang berimplikasi pada hadirnya praktek dan hubungan sosial yang berdimensi kekuasaan. (masing-masing wacana sekitar 500-700 kata)
(1) ekonomi kerakyatan
(2) petumbuhan ekonomi
(3) keadilan sosial
(4) “trickle-down effect”
(5) konglomerasi
(6) subsidi
(7) penciptaan kesejahteraan melalui mekanisme pasar
(8) kebijakan sebagai instrument perubahan yang memihak rakyat kecil
(9) padat modal
(10) pemerataan
(11) pajak bertingkat dan progesif
(12) kredit usaha dengan bunga di bawah pasar bagi golongan ekonomi lemah

2. Identifikasikanlah berbagai ekspresi yang khas dari wacana dominant Orde Baru tentang demokrasi. Susunlah ekspresi-ekspresi itu kedalam sebuah narasi yang mencerminkan gagasan sentral dalam wacana itu (500 sampai 1000 kata)
3. Petakan sekurang-kurangnya tiga wacana tentang perubahan di Indonesia yang satu sama lain sedang berkompetisi. Lakukanlah idedntifikasi terhadap kelompok yang mewakili masing-masing wacana itu.

Daftar Pustaka
Barret, M., 1991, The Politics of Truth: From Marx to Foucault, Oxford Polity Press.
Brown, G and Yule, G., 1983, Discourse Analysis, Cambridge, Cambridge University Press.
Coulthard, M., 1977, An Introduction to Discourse Analysis, London, Longman.
Fairclough, N., 1992, Discourse and Social Change,Cambridge: Polity Press.
Flax, J., 1992, “The End of Innocence” in Butler, J., and Scott,J., Eds, Feminist Theorize The Political, New York: Routledge, 445-463.
Foucault, M., 1972, The Archeology of Knowledge, London: Roufledge
Foucault, M., 1979, Discipline and Punish, New York: Random House.
Foucault, M., 1980, Power/Knowledge: Selected Interview and Other Writings, 1972-1977 (edited by Colin Gordon), Brighton: Penguin Books.
Foucault, M., 1990, History of Sexuality, London: Penguin Books.
Larrain, J., 1994, ”The Postmodernism Critique of Ideology”, Sociological Review, 2: 288-334.
Said,E., 1978, Orientalism: Western Conception Of The Orient, London: Routledge and Kegan.
Sparingga, D., 1997, Discourse, Democracy and Intellectuals in New Order Indonesia (Flinders University Australia: Phd. Thesis)
Van Dijk, C., Ed., 1985, Handbook of Discourse Analysis, London: Academic Press.
Weedon, C., 1987, Feminist Practice and Postructuralist Theory, Oxford: Basil Blackwell.
White, R., 1990, “Political Theory as an Object of Discourse”, Social Theory and Practice, 16: 85-100.

14.57

BIOGRAFI SINGKAT 5 TOKOH: Weber, Durkheim, Marx, Veblen, Said

BIOGRAFI SINGKAT 5 TOKOH: Weber, Durkheim, Marx, Veblen, Said

1. Emile Durkheim
Durkheim dilahirkan di Épinal, Prancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh - ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya - banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih berhubungan darah dengannya.
Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Prancis. Di ENS Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrégation – syarat untuk posisi mengajar dalam pengajaran umum – dalam ilmu filsafat pada 1882.
Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.
Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L'Année Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Prancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar – kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis – ia mengusahakan bentuk kehidupan Prancis yang sekular, rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negarainya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Prancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Prancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang – sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada 1917.

2. Karl Marx
Karl Marx lahir dalam keluarga Yahudi progresif di Trier, Prusia, (sekarang di Jerman). Ayahnya bernama Herschel, keturunan para rabi, meskipun cenderung seorang deis, yang kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama resmi Prusia, Protestan aliran Lutheran yang relatif liberal, untuk menjadi pengacara. Herschel pun mengganti namanya menjadi Heinrich. Saudara Herschel, Samuel — seperti juga leluhurnya— adalah rabi kepala di Trier. Keluarga Marx amat liberal dan rumah Marx sering dikunjungi oleh cendekiawan dan artis masa-masa awal Karl Marx.
Marx terkenal karena analisis nya di bidang sejarah yang dikemukakan nya di kalimat pembuka pada buku ‘Communist Manifesto’ (1848) :” Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas.” Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada akan digantikan dengan komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi keditaktoran proletariat(kaum paling bawah di negara Romawi).
Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme, Marx merupakan kaum terpelajar dan politikus. Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme. Di lain tangan, Marx menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas kerja internasional. “Komunisme untuk kita bukanlah hubungan yang diciptakan oleh negara, tetapi merupakan cara ideal untuk keadaan negara pada saat ini. Hasil dari pergerakan ini kita yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis. Komunisme adalah pergerakan yang akan menghilangkan keadaan yang ada pada saat ini. Dan hasil dari pergerakan ini menciptakan hasil dari yang lingkungan yang ada dari saat ini. – Ideologi Jerman- Dalam hidupnya, Marx terkenal sebagai orang yang sukar dimengerti, ide-ide nya mulai menunjukkan pengaruh yang besar dalam perkembangan pekerja segera setelah ia meninggal. Pengaruh ini berkembang karena didorong oleh kemenangan dari Marxist Bolsheviks dalam Revolusi Oktober Rusia. Namun, masih ada beberapa bagian kecil dari dunia ini yang belum mengenal ide Marxian ini sampai pada abad ke-20. Hubungan antara Marx dan Marxism adalah titik kontroversi. Marxism tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi dan politik sampai saat ini. Dalam bukunya Marx, Das Kapital (2006), penulis biografi Francis Wheen mengulangi penelitian David McLelland yang menyatakan bahwa sejak Marxisme tidak berhasil di Barat, hal tersebut tidak menjadikan Marxisme sebagai ideologi formal, namun hal tersebut tidak dihalangi oleh kontrol pemerintah untuk dipelajari.

3. Max Weber
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864, berasal dari keluarga kelas menengah. Perbedaan paling penting antara kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual danperkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting, dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan sebagai akibatnyamenjauhkan diri dari setiap aktivitas dan idealisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau yang dapat menimbulkan ancaman terhadap kedudukannya dalam sistem. Lagipula sang ayah adalah seorang yang menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam berbagai hal lainnya, ia bertolak belakang dengan istrinya. Ibu Max Weber adalah seorang Calvinis yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan prihatin (ascetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan suaminya. Perhatiannya kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat. Ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia tak ditakdirkan akan mendapat keselamatan di akhirat. Perbedaan mendalam antara kedua pasangan ini menyebabkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak besar terhadap Weber.
Karena tak mungkin menyamakan diri terhadap pembawaan orang tuanya yang bertolak belakang itu, Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas. Mula-mula ia memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi kemudian tertarik makin mendekati orientasi hidup Ibunya. Apa pun pilihannya, keteganan yang dihasilkan oleh kebutuhan memilih antara pola yang berlawanan itu berpengaruh negatif terhadap kejidwaan Weber. Ketika berumur 18 tahun Weber minggat dari rumah untuk belajar di Universitas Heildelberg. Weber telah menunujukkan kematangan intelektual tetapi ketika masuk universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemalu dalam bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ian bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa ayahnya dulu. Setelah kuliah tiga semster, Weber meninggalkan Heidelberg untuk dinas militer dan tahun1884 ia kembali ke berlin, ke rumah orang tuanya, dan belajar di universitas Berlin. Ia tetap disana hampir 8 tahun untuki menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph.D., menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Tak lama kemudian Weber mulai menunjukkan gejala yang berpuncak pada gangguan syaraf. Sering tak bisa tidur atau bekerja dan enam bulan atau tujuh tahun berikutnya dilaluinya dalam keadaan mendekati kehancuran total. Tahun 1904 dan 1905 Weber menerbitkan salahn satu karya terbaiknya, The protestan Ethic and The Spirit of Capitalism. Dalam karya ini Weber mengumumkna besarnya pengaruh agama ibunya di tingkat akademis. Weber banyak menghabiskan waktu untuk belajar agama meski secara pribadi ia tak religius. Weber pun aktif dala aktivitas politik dan menulis tentang masalah politik di masa itu. Ada ketegangan dalam kehidupan Weber dan yang lebih penting, dalam karyanya antara oemikiran birokratis seperti yang dicerminkan oelh ayahnya dan rasa keagamaan ibunya, ketegangan yang tak terselesaikan ini meresapi karya Weber maupun kehidupan pribadinya.

4. Thorstein Veblen
Veblen dilahirkan di Wisconsin, salah seorang dari 9 bersaudara dari keluarga petani yang berasal dari Norwegia. Tidak lama setelah ia lahir keluarganya pindah ke Minesota. Di sana Veblen masuk Carleton College pada usia 20 tahun dan lulus dalam waktu tiga tahun. Minatnya yang utama ialah filsafat yang kemudian di dalaminya di Universitas Johns Hopkins and Yale. Walaupun ia memiliki kemampuan yang luar biasa, ia tidak berhasil mendapat pekerjaan sebagai dosen. Selama tujuh tahun ia kembali ke desa, tetapi sambil terus belajar sendiri dengan membaca dan merenung. Kemudian ia mencoba melamar sekali lagi di Universitas Cornell sebagai mahasiswa tingkat sarjana, dengan maksud memperdalam ilmu ekonomi Salah seorang guru besarnya, seorang ahli ekonomi bernama J. Laurence Laughlin, diminta menjadi guru besar ilmu ekonomi di Universitas Chicago yang baru saja di dirikan, dan Veblen dicarikan pekerjaan di universitas itu sebagai peneliti. Selama menetap beberapa tahun di Chicago sebagai staf di fakultas itu, Veblen menghasilkan banyak karya tulis dan menjadi terkenal karenanya. Tetapi karena Universitas selalu mengalami kesulitan-kesulitan dengan pandangan-pandangan dan tingkah lakunya yang eksentrik, ia dianjurkan untuk pindah ke Universitas Stanford. Di sana sikapnya dalam pergaulan dan tingkah lakunya sama saja, maka tak lama kemudian ia disarankan untuk menerima satu-satunya tawaran kerja yang ada dari Universitas Missouri. Tetapi ia lebih tidak betah di sana dan dengan demikian berakhirlah karier sebagai dosen.
Veblen beberapa lama bekerja di Badan Urusan Pangan di Washington, menjadi salah seorang editor Dial Magazine, dan pada awal tahun 1920-an diajak bergabung dengan staf pengajar di New School for Social Research di New York yang baru dibuka. Di sana ia memberi kuliah bagi para mahasiswa yang berminat karena keharuman namanya, tetapi suaranya demikian kecil sehingga tak bisa di dengar di belakang ruangan kelas, sementara banyak yang mendengarnya tidak mengerti apa yang dikatakannya. Pada tahun 1929, pada saat orang-orang yang disindirnya seperti para raja uang, para spekulan dan kaum monopolis besar terjerumus dalam depresi besar, Veblen meninggal dunia pada usia 72 tahun.
Thorstein Veblen (1857-1929), merupakan seorang pemikir dari Amerika yang hidup dalam periode yang sama dengan Schmoller, Sombart, dan Weber dan menggunakan pendekatan yang hampir sama dalam ilmu ekonomi. Ia banyak membaca buku-buku sejarah, anthropologi, psikologi, dan ilmu politik. Di kala masyarakat Amerika dikuasai oleh nafsu mencari uang, Veblen mengecam orang-orang kaya bahkan itu dilakukan justru sewaktu ia bekerja di fakultas sebuah universitas yang di subsidi oleh John D. Rockefeller. Sebagai seorang dosen, Veblen membenci kebodohan. Ia jarang memberi nilai di atas C dan sedapat mungkin tidak memberi kuliah untuk mahasiswa tingkat persiapan. Dalam kehidupan kampus, selama masa ratu Viktoria ia tampaknya tidak dapat menghindari skandal-skandal seks, kadangkala dengan para mahasiswi pengagumnya. (dalam hal ini ia minta di fahami karena ketidak-dewasaan isterinya). Meskipun sebagai dosen di universitas ia tergolong masyarakat kelas menengah, namun dengan berjenggot dan biasanya berpakaian acak-acakan dengan topi kulit berbulu. Veblen termasuk orang yang berdiri sendiri, tidak menganut salah satu aliran atau partai. Ia menganggap bahwa para ekonom Amerika yang menjabarkan teori-teori mereka dari aliran neoklasik di Inggris serta teman-teman yang menggunakan teori tersebut sebagai lelucon “ilmiah”.

5. Edward Said
Edward Said adalah seorang Palestina, dan pejuang gigih hak-hak rakyat Palestina yang independen dan merdeka dari segenap bentuk imperialisme, kolonialisme dan Zionisme. Tulisan-tulisannya banyak mengkritik kebijakan dan pandangan AS tentang Islam, tentang Timur Tengah, dan lebih khusus lagi, tentang Palestina. Diakui, segenap pendidikan Edward Said adalah di Amerika. Dan khazanah keilmuan yang dikuasainya adalah sepenuhnya Barat. Said adalah pengagum karya-karya besar dalam dunia sastra dan filsafat Barat. Seperti Conrad, Vico, Gramsci, Auerbach, Renan, Adorno, dan Flaubert. Ia puluhan tahun bermukim di AS, dan sudah melahap habis segenap khazanah peradaban dan kebudayaan Amerika.
Tapi, yang justru membuat orang-orang Barat jengkel dan gusar kepada Said, adalah karena ia bersuara lain. Ia belajar Conrad dan Vico, tapi yang muncul adalah suara Palestina. Ia bergumul dengan teori-teori kritik sastra, namun yang keluar dalam tulisan-tulisannya adalah kritik terhadap kolonialisme Eropa dan imperialisme AS. Jadi, karena Said menulis lain, sebagai orang Palestina, maka ia pun melihatnya dengan cara lain dan dari sudut pandang yang berbeda pula.

14.56

ISLAM PESISIRAN DAN ISLAM PEDALAMAN: TRADISI ISLAM DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL

ISLAM PESISIRAN DAN ISLAM PEDALAMAN:
TRADISI ISLAM DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL

Prof. DR. Nur Syam, M.Si*

Pendahuluan
Islam pesisir dan Islam pedalaman memang pernah memiliki konflik yang keras terutama di masa awal Islamisasi Jawa, yaitu ketika pusat kerajaan Demak di pesisir kemudian beralih ke pusat kerajaan Pajang di pedalaman. Ketika Aryo Penangsang yang didukung oleh Sunan Kudus kalah melawan Pangeran Hadiwijaya yang didukung oleh Sunan Kalijaga, maka mulai saat itulah sesungguhnya terjadi rivalitas pesisiran-pedalaman. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik, maka varian Islam pesisiran dan Islam pedalaman pun bergeser sedemikian rupa. Perubahan itu terjadi karena factor politik yang sering menjadi variabel penting dalam urusan rivalitas tidak lagi dominan dalam wacana dan praktik kehidupan masyarakat.
Islam pesisiran sering diidentifikasi lebih puris ketimbang Islam pedalaman. Gambaran ini tidak sepenuhnya benar, mengingat bahwa di Indonesia –khususnya Jawa—varian-varian Islam itu dapat dilihat sebagai realitas sosial yang memang unik. Sehingga ketika seseorang berbicara tentang Islam pesisir pun tetap ada varian-varian Islam yang senyatanya menggambarkan adanya fenomena bahwa Islam ketika berada di tangan masyarakat adalah Islam yang sudah mengalami humanisasi sesuai dengan kemampuannya untuk menafsirkan Islam. Demikian pula ketika berbicara tentang Islam pedalaman, hakikatnya juga terdapat varian-varian yang menggambarkan bahwa ketika Islam berada di pemahaman masyarakat maka juga akan terdapat varian-varian sesuai dengan kadar paham masyarakat tentang Islam.
Sesungguhnya, varian-varian Islam itulah yang menjadikan kajian tentang Islam Nusantara –khususnya Jawa—menjadi menarik tidak hanya dari perspektif politik saja tetapi juga sosiologis-antropologis. Tak ayal lagi, maka kajian tentang Islam Jawa juga memperoleh tempat yang sangat penting dalam dunia kajian ilmiah.
Karya-karya tentang Islam Jawa terus bermunculan, terutama dalam perspektif sosiologis-antropologis. Semenjak Geertz melakukan kajian tentang The Religion of Java, maka kajian terus berlanjut, baik yang bersetuju dengannya ataukah yang menolaknya. Tulisan ini secara sengaja mengambil titik tolak kajian Geertz yang disebabkan oleh konsep trikhotominya ternyata memantik banyak perdebatan tentang Islam Indonesia. Terlepas dari kelebihan atau kelemahan konsepsi Geertz, namun perlu digarisbawahi bahwa konsepsi Geertz tentang Islam Jawa banyak menjadi sumber inspirasi untuk kajian Islam Indonesia.

Perdebatan Konseptual Islam Indonesia
Kajian Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan semenjak tahun 1950an. Berbagai karya monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya Clifford Geertz, “The Javanese Religion”. Konsep yang dihasilkan dari kajian ini adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep aliran inilah kemudian hampir seluruh pengkajian tentang masyarakat dan penggolongan sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik.. Pada masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan. Abangan adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun diatas pola bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungann antara islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknnya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.
Dari sekian banyak Indonesianis, maka Clifford Geertz adalah orang yang memiliki sumbangan luar biasa dalam kajian masyarakat Indonesia. Berkat kajian-kajian yang dilakukan maka Indonesia bisa menjadi lahan amat penting bagi studi-studi sosiologis-antropologis yang mengdepan. Berkat sumbangan akademisnya itulah maka Geertz dianggap oleh banyak kalangan sebagai pembuka jendela kajian Indonesia. Geertz adalah sosok luar biasa yang dapat melakukan modifikasi konseptual. Melalui kemampuan modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara sistem simbol, sistem nilai dan sistem evaluasi. Ia dapat menyatukan konsepsi kaum kognitifisme yang beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif, sistem makna dan sistem budaya, maka agar tindakan bisa dipahami oleh orang lain, maka harus ada suatu konsep lain yang menghubungkan antara sistem makna dan sistem nilai, yaitu sistem simbol. Sistem makna dan sistem nilai tentu saja tidak bisa dipahami oleh orang lain, karena sangat individual. Untuk itu maka harus ada sebuah sistem yang dapat mengkomunikasikan hubungan keduanya, yaitu sistem simbol. Melalui sistem simbol itulah sistem makna dan sistem kognitif yang tersembunyi dapat dikomunikasikan dan kemudian dipahami oleh orang lain. Geertz adalah ilmuwan yang memiliki minat kajian yang sangat variatif. Ia tidak hanya mengkaji persoalan agama dan masyarakat dalam perspektif sosiologis atau antropologis, tetapi juga mengkaji sejarah sosial melalui kajiannya tentang perubahan sosial di dua kota di indonesia. Ia juga mengkaji masalah ekonomi. Melalui kajiannya tentang ekonomi masyarakat pedesaan Jawa, ia menghasilkan teori yang hingga dewasa ini masih diperbincangkan, yaitu teori involusi.
Salah satu kehebatan sebuah karya adalah jika karya itu dibicarakan dan dijadikan sebagai bahan rujukan berbagai karya yang datang berikutnya. Salah satu karya yang banyak mendapatkan sorotan itu adalah karya Geertz tentang konsep agama Jawa tersebut. Kajian Geertz memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsya Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial. Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai abangan sebagai kategori ketaatan beragama. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi.
Namun demikian, anehnya konsepsi Geertz tersebut hingga sekarang menjadi acuan utama dalam berbagai kajian tentang Islam dan masyarakat di Indonesia. Di antara kajian yang menolak konsepsi Geertz adalah Mark R. Woodward dalam tulisannya yang bertopik “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta,” 1985 dan telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan topik “Islam Jawa: Kesalehan versus Kebatinan Jawa”, 2001. Karya ini merupakan sanggahan terhadap konsepsi Geertz bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretik yang merupakan campuran antara Islam, Hindu Budha dan Animisme. Dalam kajiannya tentang Islam di pusat kerajaan yang dianggap paling sinkretik dalam belantara keberagamaan (keislaman) ternyata justru tidak ditemui unsur sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu Budha di dalamnya. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama di Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan keyakinan lokal, maka ternyata tidak ditemui unsur tersebut didalam tradisi keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan, Jogyakarta. Melalui konsep aksiomatika struktural, maka diperoleh gambaran bahwa Islam Jawa adalah Islam juga, hanya saja Islam yang berada di dalam konteksnya. Islam sebagaimana di tempat lain yang sudah bersentuhan dengan tradisi dan konteksnya. Islam Persia, Islam Maroko, Islam Malaysia, Islam Mesir dan sebagainya adalah contoh mengenai Islam hasil bentukan antara Islam yang genuin Arab dengan kenyataan-kenyataan sosial di dalam konteksnya. Memang harus diakui bahwa tidak ada ajaran agama yang turun di dunia ini dalam konteks vakum budaya. Itulah sebabnya, ketika islam datang ke lokus ini, maka mau tidak mau juga harus bersentuhan dengan budaya lokal yang telah menjadi seperangkat pengetahuan bagi penduduk setempat.
Woodward memperoleh banyak dukungan, misalnya dari Muhaimin, yang mengkaji Islam dalam konteks lokal. Dalam kajiannya terhadap Islam di Cirebon melalui pendekatan alternatif, ditemukan bahwa Islam di Cirebon adalah Islam yang bernuansa khas. Bukan Islam Timur Tengah yang genuin, tetapi Islam yang sudah bersentuhan dengan konteks lokalitasnya. Islam di Cirebon adalah Islam yang melakukan akomodasi dengan tradisi-tradisi lokal, seperti keyakinan numerologi atau hari-hari baik untuk melakukan aktivitas baik ritual maupun non ritual, meyakini tentang makhluk-makhluk halus, serta berbagai ritual yang telah memperoleh sentuhan ajaran Islam. Ada proses tarik menarik bukan dalam bentuknya saling mengalahkan atau menafikan, tetapi adalah proses saling memberi dalam koridor saling menerima yang dianggap sesuai. Islam tidak menghilangkan tradisi lokal selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan Islam murni, akan tetapi Islam juga tidak membabat habis tradisi-tradisi lokal yang masih memiliki relevansi dengan tradisi besar Islam (Islamic great tradition).
Kajian yang dilakukan oleh Bartholomew, tentang Islam di Lombok Timur yang dipresentasikan melalui jamaah masjid Al Jibril dan masjid Al-Nur, ternyata juga menggambarkan bagaimana respon sosial jamaah masjid terhadap Islam yang berasal dari tradisi besar tersebut. Pada masyarakat sasak yang semula bertradisi lokal yang dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Hindu, Budha dan animisme, ketika Islam datang kepadanya maka direspon dengan cara yang berbeda meskipun berada dalam konteks lokalitasnya masing-masing. Jamaah masjid Jibril yang dalam kehidupan sehari-harinya kental dengan tradisi Islam yang bersentuhan dengan tradisi lokal dan jamaah masjid Al-Nur yang bertradisi lebih puris, namun demikian tidak menimbulkan polarisasi hubungan keduanya. Mereka menerima perbedaan itu bukan dalam kerangka untuk saling berkonflik, akan tetapi dapat mewujudkan kesinambungan dalam dinamika hubungan yang harmonis. Masyarakat Sasak menerima perbedaan dalam konteks agree in disagreement. Itulah yang kemudian dikonsepsikan sebagai kearifan sosial masyarakat Sasak.
Tulisan Nur Syam, yang mengkaji Islam pesisir melalui tinjauan teori konstruksi sosial, diperoleh gambaran bahwa Islam pesisir yang sering ditipologikan sebagai islam murni, karena bersentuhan pertama kali dengan tradisi besar Islam, ternyata adalah Islam yang kolaboratif, yaitu corak hubungan antara islam dengan budaya lokal yang bercorak inkulturatif sebagai hasil konstruksi bersama antara agen (elit-elit lokal) dengan masyarakat dalam sebuah proses dialektika yang terjadi secara terus menerus. Ciri-ciri Islam kolaboratif adalah bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal. Islam yang bernuansa lokalitas tersebut hadir melalui tafsiran agen-agen sosial yang secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat luas dalam kerangka mewujudkan islam yang bercorak khas, yaitu Islam yang begitu menghargai terhadap tradisi-tradisi yang dianggapnya absah seperti ziarah kubur suci, menghormati terhadap masjid suci dan sumur-sumur suci. Medan budaya tersebut dikaitkan dengan kreasi para wali atau penyebar Islam awal di Jawa. Motif untuk melakukan tindakan tersebut adalah untuk memperoleh berkah. Melalui bagan konseptual in order to motif atau untuk memperoleh berkah, ternyata juga penting dilihat dari bagan konseptual because motive atau orang pergi ke tempat keramat adalah disebabkan oleh keyakinan bahwa medan-medan budaya tersebut mengandung sakralitas, mistis dan magis. Namun demikian, keduanya tidak cukup untuk menganalisis tindakan itu, maka diperlukan bagan konseptual pragmatic motive yaitu orang pergi ke medan budaya disebabkan oleh adanya motif pragmatis atau kepentingan yang mendasar di dalam kehidupannya.
Tulisan yang bernada membela terhadap Geertz juga banyak. Di antaranya adalah tulisan Beatty. Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bahwa Islam Jawa hakikatnya adalah Islam sinkretik atau paduan antara Islam, Hindu/Budha dan kepercayaan animistik. Melalui pendekatan multivokalitas dinyatakan bahwa Islam Jawa sungguh-sungguh merupakan Islam sinkretik. Corak Islam Jawa merupakan pemaduan dari berbagai unsur yang telah menyatu sehingga tidak bisa lagi dikenali sebagai Islam. Kenyataannya Islam hanya di luarnya saja, akan tetapi intinya adalah keyakinan-keyakinan lokal. Melalui tulisannya yang bertopik “Adam and Eva and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan” digambarkan bahwa inti agama Jawa ialah slametan yang di dalamnya terlihat inti dari ritual tersebut adalah keyakinan-keyakinan lokal hasil sinkresi antara Islam, Hindu/Budha dan animisme.
Meskipun menemukan konsep baru dalam jajaran kajian agama-agama lokal, yaitu bagan konseptual “lokalitas”, tetapi Mulder tetap dapat dikategorikan sebagai kajian hubungan antara Islam dan masyarakat dalam konteks sinkretisme. Ketidaksetujuan Mulder terhadap Geertz, sesungguhnya merupakan perbedaan pandangan tentang Islam, Hindu/Budha dan animisme itu bercorak paduan di antara ketiganya ataukah yang lain. Mulder sampai pada kesimpulan bahwa hubungan itu bercorak menerima yang relevan dan menolak yang tidak relevan. Ternyata yang dominan menyaring setiap tradisi baru yang masuk itu adalah unsur lokal. Jadi ketika Islam masuk ke wilayah kebudayaan Jawa, maka yang disaring adalah Islam. Ajaran Islam yang cocok akan diserap untuk menjadi bagian dari tradisi lokal sedangkan yang tidak cocok akan dibuang. Itulah sebabnya Islam di Jawa hanya kulitnya saja tetapi intinya adalah tradisi lokal tersebut. Kajian-kajian ini menggambarkan tentang bagaimana cara pandang sarjana Barat tentang Islam di Indonesia, yang digambarkannya sebagai Islam nominal, yaitu Islam yang hanya di dalam pengakuan dan bukan masuk ke dalam keyakinan dan penghayatan.
Tulisan lain yang juga menganggap Islam dan masyarakat hanyalah nominal juga dijumpai dalam tulisan Budiwanti. Meskipun bercorak kajian kualitatif, tetapi melalui pendekatan fungsionalisme alternatif ditemui bahwa Islam sasak sesungguhnya Islam juga hanya dalam coraknya yang khas yang lebih banyak mengadopsi unsur luar Islam yaitu tardisi-tradisi dan keyakinan-keyakinan lokal, sedangkan ajaran Islam hanyalah dijadikan sebagai pigura saja. Islam ini adalah Islam yang benar-benar berbeda dengan Islam Timur Tengah. Jika Islam lainnya menekankan pada unsur keyakinan, ritual dan etika Islam, maka di sini hanya ditekankan pada dimensi yang sangat luar dari Islam, yaitu ritual yang sangat elementer, Islam Wetu Telu. Di tengah arus islamisasi yang terus berlangsung tersebut, maka memunculkan tekanan dari Islam Wetu Limo, yang diprakarsai oleh gerakan dakwah Islam dari Nahdlatul Wathon. Gerakan dakwah ini semakin lama semakin mendesak terhadap Islam tradisi lokal ke titik yang paling rendah, sehingga akan terdapat kemungkinan Islam Wetu Telu akan mengalami kemerosotan dalam jumlah di masa yang akan datang.
Islam di Indonesia memang mengalami pergulatannya sendiri. Di tengah arus pergulatan tersebut, corak Islam memang menjadi bervariatif mulai dari yang sangat toleran terhadap tradisi lokal maupun yang sangat puris dan menolak tradisi lokal. Gerakan-gerakan Islam pun bervariasi dari yang bercorak tradisionalisme, post-tradisionalisme sampai yang modernisme bahkan neo-modernisme. Corak keislaman seperti itu sebenarnya menjadikan wajah Islam di Indonesia menjadi semakin menarik untuk dicermati, baik sisi sosiologisnya maupun antropologisnya.

Islam Pesisir versus Islam Pedalaman
Islam datang ke Nusantara melalui pesisir dan kemudian masuk ke pedalaman. Itulah sebabnya ada anggapan bahwa Islam pesisir itu lebih dekat dengan Islam genuine yang disebabkan oleh adanya kontak pertama dengan pembawa islam. Meskipun Islam yang datang ke wilayah pesisir, sesungguhnya sudah merupakan Islam hasil konstruksi pembawanya, sehingga Islam yang pertama datang adalah Islam yang tidak murni. Terlepas dari teori kedatangan Islam ke Nusantara dari berbagai sumbernya, namun yang jelas bahwa Islam datang ke Nusantara ketika di wilayah ini sudah terdapat budaya yang berciri khas. Islam yang datang ke Nusantara tentunya adalah Islam yang sudah bersentuhan dengan tradisi pembawanya (da’i), seperti yang datang dari India Selatan tentunya sudah merupakan Islam hasil penafsiran komunitas Islam di India Selatan dimaksud. Demikian pula yang datang dari Gujarat, Colomander, bahkan yang bertradisi Arab sekalipun.
Bukan suatu kebetulan bahwa kebanyakan wali (penyebar Islam) berada di wilayah pesisir. Sepanjang pantai utara Jawa dapat dijumpai makam para wali yang diyakini sebagai penyebar Islam. Di Jawa Timur saja, jika dirunut dari yang tertua ke yang muda, maka didapati makam Syeikh Ibrahim Asmaraqandi di Palang Tuban, Syeikh Malik Ibrahim di Gresik, makam Sunan Ampel di Surabaya, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajad di Lamongan, makam Wali Lanang di Lamongan, makam Raden Santri di Gresik dan makam Syekh Hisyamudin di Lamongan. Makam para wali ini hingga sekarang tetap dijadikan sebagai tempat suci yang ditandai dengan dijadikannya sebagai tempat untuk berziarah dengan berbagai motif dan tujuannya.
Secara geostrategis, bahwa para wali menjadikan daerah pesisir sebagai tempat mukimnya tidak lain adalah karena mudahnya jalur perjalanan dari dan ke tempat lain untuk berdakwah. Bisa dipahami sebab pada waktu itu jalur laut adalah jalur lalu lintas yang dapat menghubungkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Sehingga tidak aneh jika penyebaran Islam oleh Sunan Bonang sampai ke Bawean, Sunan Giri sampai ke daerah Sulawesi, Lombok dan sebagainya. Jalur laut pada masa awal penyebaran Islam, terutama laut Jawa telah mencapai puncaknya. Pada abad ke 12, jalur laut yang menghubungkan Jawa, Sumatera, Malaka dan Cina, sudah terbangun sedemikian rupa. Maka, para wali pun telah melakukan dakwahnya ke seluruh Nusantara melalui pemanfaatan jalur laut tersebut.
Islam pesisiran Jawa hakikatnya adalah Islam Jawa yang bernuansa khas. Bukan Islam bertradisi Arabyang puris karena pengaruh gerakan Wahabiyah, tetapi juga bukan Islam sinkretis sebagaimana cara pandang Geertz yang dipengaruhi oleh Islam tradisi besar dan tradisi kecil. Islam pesisiran adalah Islam yang telah melampaui dialog panjang dalam rentang sejarah masyarakat dan melampaui pergumulan yang serius untuk menghasilkan Islam yang bercorak khas tersebut. Corak Islam inilah yang disebut sebagai Islam kolaboratif, yaitu Islam hasil konstruksi bersama antara agen dengan masyarakat yang menghasilkan corak Islam yang khas, yakni Islam yang bersentuhan dengan budaya local. Tidak semata-mata islam murni tetapi juga tidak semata-mata Jawa. Islam pesisir merupakan gabungan dinamis yang saling menerima dan memberi antara Islam dengan budaya local.
Varian Islam pesisir juga didapati di wilayah pesisir utara Jawa. Di pesisir Tuban bagian timur –tepatnya di Karangagung, Kecamatan Palang—juga didapati corak pengamalan Islam yang puris. Kelompok Muhammadiyah di desa ini cukup dominant dan bahkan jika dibandingkan dengan wilayah Tuban lainnya, maka di desa inilah kekuatan Muhammadiyah bertumpu. Jika pelacakan dilakukan ke arah timur di pesisir utara Lamongan, maka geliat Islam murni juga semakin nampak. Di sepanjang pesisir utara Lamongan –kecamatan Brondong terus ke timur sampai Gresik sebelah barat, maka dapat dijumpai Islam yang bertradisi puris. Meskipun tidak seluruhnya seperti itu, namun memberikan gambaran bahwa corak Islam pesisir, sesungguhnya sangat variatif. Wilayah pesisir Tuban ke barat, tampak didominasi oleh Islam local. Dari Tuban ke barat sampai Demak, corak Islam local masih dominan. Namun demikian juga bukan berarti bahwa di sana sini tidak dijumpai adanya pengamalan Islam yang bercorak murni tersebut.
Pada komunitas pesisir, ada satu hal yang menarik adalah ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang, Islam murni dan Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami terutama yang menyangkut istilah-istilah, seperti slametan yang bernuansa bukan kesedihan berubah menjadi tasyakuran, misalnya slametan kelahiran, pindah rumah, mendapatkan kenikmatan lainnya, maka ungkapan yang digunakan bukan lagi slametan tetapi syukuran. Upacara memperingati kematian atau dulu disebut manganan kuburan sekarang diubah dengan ungkapan khaul. Nyadran di Sumur sekarang berubah menjadi sedekah bumi. Upacara petik laut atau babakan di pantai disebut sedakah laut. Upacara babakan untuk menandai datangnya masa panen bagi para nelayan. Dari sisi substansi juga terdapat perubahan. Jika pada masa lalu upacara nyadran di sumur selalu diikuti dengan acara tayuban, maka sekarang dilakukan kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Sama halnya dengan upacara sedekah laut, jika dahulu hanya ada acara tayuban, maka sekarang ada kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Secara simbolik hal ini menggambarkan bahwa ada pergerakan budaya yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah tradisi Islam.
Suasana keagamaan yang berbeda tampak pada suatu wilayah yang kecenderungan umum pelakunya adalah kebanyakan penganut NU. Di desa-desa pesisir yang aliran keagamaannnya seperti itu, maka tampak bahwa pengamalan beragamanya cenderung masih stabil, yaitu beragama yang bercorak lokalitas. Jika terjadi perubahan pun kelihatannya sangat lambat. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa upacara-upacara di medan budaya –sumur dan makam—sudah berubah menjadi lebih islami. Hal itu juga tampak dari sederetan upacara ritual yang menampakkan wajah islam secara lebih dominan, meskipun hal itu merupakan penafsiran atau hasil konstruksi yang mempertimbangkan lokalitasnya.
Islam pedalaman pun menggambarkan wajah varian-varian yang menonjol. Kajian Nakamura (1983) dan Mulkhan (1999) tentang Islam murni di wilayah pusatnya Jogyakarta maupun Islam murni di Wuluhan Jember tentunya merupakangambaran varian Islam ketika berada di dalam lokus sosial budayanya. Muhammadiyah yang merupakan gerakan keagamaan anti takhayul, bidh’ah dan churafat (TBC) ketika berada di tangan kaum petani juga mengalami naturalisasi. Muhammadiyah di Wuluhan juga menggambarkan fenomena seperti itu. Gerakan Muhammadiyah belumlah tuntas, sehingga Muhammadiyah di tangan Petani juga memberikan gambaran bahwa belum semua orang Muhammadiyah melakukan Islam sebagaimana penafsiran para elitnya tentang Islam. Empat tipe penggolongan orang Muhammadiyah di Wuluhan yang dilakukan oleh Mulkhan yaitu: Islam-Ikhlas yang lebih puris, Islam-Munu atau golongan Muhammadiyah-NU yang orientasinya kurang puris dan ada lagi Islam-Ahmad Dahlan yang tidak melakukan praktik bidh’ah tetapi membiarkan dan ada Islam-Munas atau Muhammadiyah-Nasionalisme yang tidak mengamalkan ajaran Islam atau disebut juga Marmud atau Marhaenis-Muhammadiyah.
Di sisi lain, Nakamura juga memberikan gambaran bahwa gerakan tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah juga berada dalam proses terus menjadi dan bukan status yang mandeg. Di dalam penelitiannya diungkapkan secara jujur bahwa islam diJawa ternyata tidak mandeg atau sebuah peristiwa sejarah yang paripurna, akan tetapi peristiwa yang terus berlangsung. Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bercorak sosial dan agama sekaligus. Muhammadiyah dalam pengamatannya ternyata tidak sebagaimana disangkakan orang selama ini, yaitu gerakan keagamaan yang keras, eksklusif, fundamental, namun merupakan gerakan yang berwatak inklusif, tidak mengedepankan kekerasan dan berwajah kerakyatan. Nakamura memang melakukan penelitian tentang Muhammadiyah di pusatnya yang memang menggambarkan corak keberagamaan seperti itu.
Dalam banyak hal, Islam pedalaman memang menggambarkan corak varian yang bermacam-macam. Selain gambaran Muhammadiyah sendiri yang juga terdapat varian-varian pengamalan keagamaannya, maka di sisi lain juga menggambarkan watak keislaman yang sangat variatif. Corak Islam tersebut misalnya dapat dilihat dari semakin semaraknya tradisi-tradisi lokal di era pasca reformasi. Tradisi-tradisi yang pada masa lalu dianggap sebagai ritual, maka dewasa ini lebih dikemas sebagai festival-ritual. Artinya bahwa upacara ritual tersebut dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada tradisi masa lalu, namun dikemas sebagai peristiwa festival yang bisa menghadirkan nuansa budaya dan ekonomi. Tradisi Suroan di beberapa wilayah Mataraman dewasa ini, sungguh-sungguh telah masuk ke dalam wilayah festival budaya. Memang masih ada ritual yang tetap bertahan sebagai ritual dan dilakukan dengan tradisi sebagaimana adanya, sehingga coraknya pun tetap seperti semula. Tradisi itu antara lain adalah upacara lingkaran hidup, upacara hari-hari baik dan upacara intensifikasi. Namun untuk upacara kalenderikal kelihatannya telah memasuki perubahanyang mendasar, yaitu sebagai ritual-festival dimaksud.
Dalam banyak hal, tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya masing-masing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi tradisi keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Hubungan mana diantarai oleh pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang bervariasi. Nyadran laut atau sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan datangnya masa panen ikan. Demikian pula upacara wiwit dalam tradisi pertanian hakikatnya juga rasa ungkapan syukur karena penen padi akan tiba. Upacara lingkaran hidup juga memiliki pesan ritual yang sama. Upacara hari-hari baik dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi ritual yang sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Jika demikian halnya, maka perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan tradisi Islam pedalaman hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun dalam struktur dalamnya memiliki kesamaan. Atau dengan kata lain, substansinya sama meskipun simbol-simbol luarnya berbeda.

Kesimpulan
Rivalitas pesisir dengan pedalaman memang pernah terjadi dalam rentangan panjang sejarah Islam Jawa. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik dalam kehidupan masyarakat, maka perbedaan itu tidak lagi didapatkan. Dewasa ini, yang terjadi hanyalah perbedaan dalam simbol-simbol performansinya, namun sesungguhnya memiliki kesamaan dalam substansi. Perbedaan label ritual Islam, misalnya hanya ada dalam label luarnya saja namun dalam substansinya memiliki kesamanaan.
Islam baik pesisiran maupun pedalaman, ternyata memiliki varian-varian yang unik. Varian itu anehnya justru menjadi daya tarik karena masing-masing varian memiliki ciri khas yang bisa saja tidak sama. Pada masyarakat petani bisa saja terdapat varian Islam murni meskipun selama ini selalu dilabel bahwa Islam pedalaman itu Islam lokal. Demikian pula Islam pesisir yang selama ini dilabel Islam murni ternyata juga terdapat Islam lokal yang menguat dan berdiri kokoh.
Dengan demikian, genuinitas atau lokalitas Islam hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap Islam yang memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah terdapat budaya yang bercorak mapan. Islam memamg datang ke suatu wilayah yang tidak vakum budaya. Makanya, ketika Islam datang ke wilayah tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang.


*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi pada Fakultas Dakwah sekaligus Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya.

14.52

KIAI, PESANTREN DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

KIAI, PESANTREN DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
oleh
Prof.DR.M.Ali Haidar, M.A.

Beberapa dekade lalu ahli Indonesia dan Belanda G.J.W. Drewes membuat analisis historis gerakan sufisme di Indonesia mengatakan cukup alasan untuk menyimpulkan melalui interaksi sejarah yang panjang Islam telah mejadi bagian begitu dalam menguasai batin masyarakat Indonesia. Islam berkembang di Indonesia melalui proses sejarah yang panjang dan kompleks yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan. Sebagian dapat dijelaskan melalui kegiatan perdagangan dan sosial keagamaan seperti perkawinan atau pengajaran yang berkembang sejak abad XI M. intensitas kegiatan-kegiatan tersebut menghasilkan tumbuhnya permukiman muslim di pesisir kepualauan Nusantara sepanjang abad XII-XVI. Melalui proses sejarah pergumulan sosial politik dan budaya yang panjang, dan kini cukup alasan untuk menyimpulkan Islam telah menjadi bagian terpenting identitas kemelayuan dan keindonesiaan, kultural, sosia; maupun politik.
Tentu saja keberhasilan Islam menembus akar kehidupan masyarakat di Nusantara, tak serta merta akar lamayang bersumber dari tradisi dan budaya setempat hilang sama sekali. Kondisi semacam ini juga dapat diamati ditempat lain di belahan bumi ini. Pergumulan atau lebih tepatnya interaksi, Islam dengan budaya lokal menuntut adanya penyesuaian terus menerus tanpa harus kehilangan ide aslinya sendiri. Penghadapan (agama) Islam dengan realitas sejarah, senantiasa akan memunculkan sebuah realitas baru. Hal ini bukan saja diakibatkan pergumulan internalnya sendiri menghadapi tentangan yang harus dijawab, tetapi juga keterlibatannya dalam proses sejarah yang harus dijawab sebagai pelaku yang ikut menentukna keadaan zaman. Dalam proses seperti ini Islam tidak saja harus “menjinakkan“ sasarannya, tetapi dirinya sendiri terpaksa harus “diperjinak“. Dengan demikian memberi keniscayaan terjadinya keagamaan dalam Islam sebagai akibat dari tuntutan ajarannya sendiri yang universal.
Islam bukan hanya dapat dilihat sebagai realitas agama, melainkan juga sebagai realita sejarah, budaya dan peradaban, sebab Islam sebagai agama telah bergumul dalam rentang sejarah yang panjang. Sebagai agama, Islam diturunkan bukan dalam ruang yang kosong, tetapi dalam masyarakat yang berbudaya, memiliki tradisi, harapan-harapan, paradigma pemikiran budaya, konstruksi sosial dan sejarahnya sendiri.
Bahasa kitab suci agama, dalam hal ini Al-Quran, adalah bahwa masyarakatnya, bahasa Arab. Bahkan komposisi bahasa Al-Quran tersusun dalambentuk yang puitis disebutkan karena alasan i’jaz (inimitability) mengingat masyarakat Arab dahulu menempatkan kemampuan berpuisi seseorang pada status sosial yang tinggi atau bahkan tertinggi. Sampai kini pun puisi-puisi Arab kuno disebut syi’r al-jabili-masih terwat dengan baik sebagai salah satu acuan karya sastra Arab. Dengan demikian agama dan budaya adalah suatu realitas yang berbeda. Keduanya menempati “ruang“ sendiri-sendiri. Agama adalah kebenaran absolut dan permanen, sementara kebenaran dalam budaya bersifat relatif (nisbi), hipotesis (iftiradi) dan dinamik (zu’alaqa bi al-quwwa). Mengingat agama adalah sesuatu yang absolut maka kebenaran agama diterima dengan kepercayaan (al-iman), ketulusan (al-ikhlas) dan kepasrahan (al-islam), sementara kebenaran dalam budaya diterima dengan pemahaman logika, kepatuhan, emosi dan senantiasa dalam dinamika perubahan.

Ketika agama berada dalam ruang budaya, karena agam dipeluk manusia dan pemahaman agama menggunakan media intuisi atau bahasa atau logika, yang terjadi adalah tarik menarik antara kemutlakan agama di satu pihak dari relatifitas budaya di pihak lain. Mungkin keduanya akan mengalami tumpang tindih saling klaim dengan tingkat kompleksitas yang rumit atau bahkan mengalami distorsi. Tetapi dalam realitas sejarah ketegangan antara keduanya juga acap kali melahirkan harmoni karena kebutuhan masing-masing untuk eksis dalam kehidupan universal.
Dalam kehidupan keseharian manusia seringkali tak sadar dan sulit membedakan mana agama dan mana budaya. Penyebutan Tuhan dengan ungkapan Allah- kadang diucapkan awloh atau alloh- sebagai klaim kebenaran simbolik. Boleh jadi akan menimbulkan ketegangn karena menafikan konsep yang substansinya sama tetapi dengan idiom bahasa yang berbeda yang tumbuh dari akar budaya yang berbeda. Klaim simbolik semacam itu tentu tak bisa mewadahi idiom bahasa yang tumbuh dari tradisi orang jawa muslim yang bersenandung di tengah malam dengan ungkapan “Duh Gusti Pangeran…” karena tak menyebut dengan ungkapan Allah. Meski kadang-kadang terjadi ketegangan, kedua idiom bahasa itu menempati ruang masing-masing dalam sistem budaya muslim Jawa seperti dikemukakan Clifford Geertz yang terkenal yaitu muslim santri, abangan dan priyayi. Pada sisi santri ada santri tradisional dan santri modern.
Jika diamati persebaran Islam ke luar semenanjung Arabia dalam rentang sejarah yang panjang menampakkan proses islamisasi yang beragam sejalan dengan pandangan diatas. Ada bagian-bagian wilayah, terutama yang berdekatan dengan jazirah itu, islamisasi berkembang dengan pola dominasi Arab yang kuat. Wilayah-wilayah itu semula memiliki tradisi, struktur sosial budaya, etnik dan bahasa yang berbeda dengan Arab tetapi kemudian berubah menjadi Arab. Konflik dan instabilitas politik dikawasan seperti Irak, Sudan, dan Somalia sekarang antara lain karena kuatnya pengaruh sistemkesukuan di tengah tuntutan nasionalisme yang digagas negara yang tentu saja akan mereduksi kekuasaan internal kesukuan. Hal ini mengingatkan pada susunan masyarakat Arab yang terdiri dari suku-suku (kabilah) pada zaman Nabi Muhammad sampai sekarang. Ide nasionalisme Arab yang digagas oleh Michel Aflak abad 19 dan Gamal Abdul Nasser abad 20 yang mencoba menggabungkan sejumlah negara Arab dalam satuan nasionalisme yang lebih luas adalah sebuah pengakuan terjadinya reduksi etnisitas lokal non Arab yang makin redup.
Disisi lain islamisasi ke wilayah Eropa dengan pola yang sama bukan saja tak mampu “menaklukan” elemen-elemen penting budaya Eropa walaupun keberadaan Islam di sana dalam kurun waktu yang panjang, bahkan Islam itu sendiri harus angkat kaki. Tak ada warisan budaya dan sosial kecuali sejumlah artefak yang bisu. Pola hubungan yang terjadi “Islam adalah Arab” tak mampu ”menjinakkan” Eropa seperti yang terjadi di Timur Tengah. Karya tuis sarjana muslim Eropa ketika itu semuanya dalam bentuk bahasa Arab. Sangat sedikit atau bahkan tak satu pun bisa dijumpai karya tulis dalam bahasa lokal Eropa. Ini berbeda dengan islamisasi yang terjadi kearah timur jazirah Arabia. Islam mampu bersinergi dengan kekuatan kultur lokal. Bahasa, tradisi maupun struktur sosial dan budaya bangsa-bangsa muslim di Asia sangat beragam berbasis etnik dan kultur lokal yang tetap eksis. Bahkan di beberapa kawasan terjadi pola adaptasi kultural dengan dipakainya modifikasi aksara Arab yang disesuaikan dengan bahasa lokal seperti penggunaan aksara arab Urdu (persia), Arab Hindi (pakistan, India, da Bagladesh) serta Arab Melayu atau Arab Jawi (Nusantara). Sebagian besar karya tulis muslim di kawasan ini di masa lalu menggunakan bahasa dan aksara Arab berbahasa lokal.
Pesantren adalah suatu entitas sosial budaya yang tumbuh dalam pola hubungan interaksi adaptif antara agama dan budaya seperti itu. Seperti halnya pada semua komunitas keagamaan, pesantren mulanya adalah kumpulan sekelompok orang yang berminat mempelajari kitab suci. Thaap awal tentu hanya sekadar belajar cara membaca dan melafalkan bunyi huruf kemudian berkembang untuk mengurai kandungan isi. Pada fase ini akan sangat mungkin setiap entitas budaya akan melahirkan intuisi dan hubungan-hubungan budaya yang berbeda. Ketika masyarakat harus melakukan transformasi ide dengan idiom bahasa kitab suci ke dalam realitas sosial pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan model atau idiom-idiom lokal yang mereka pahami.
Dalam Al-Quran ada kewajiban masyarakat untuk taat kepada ulu al-amr (pemegang otoritas) sangat mungkin makna frasa ini berbeda antar masyarakat stu dengan masyarakat lainnya karena berbeda struktur sosial dan budayanya. Masyarakat Arab tersusun dalam kabilah-kabilah yang eksklusif, bahkan rigid, boleh jadi mereka memaknai frasa itu adalah para pemimpin kabilah itu. Tetapi bagi masyarakat Nusantara yang hubugnan sosial antar etnik mereka begitu longgar makna frasa itu akan berbeda dengan struktur kekabilahan masyarakat Arab. Frasa itu dimaknai dalam konteks lokal yaitu “taat kepada kiai” yang pengaruhnya melewati batas etnik. Denga pendekatan ini lambat laun otoritas kiai memperoleh legitimasi keagamaan, dan tentu saja sosial budaya yang kuat di tengah masyarakatnya.
Pola adaptasi kultural yang dilakukan kiai pesantren dalam mengembangkan misi keagamaan juga bisa dilihat dalam hal bagaimana mereka menyinergikan antara nilai universal keagamaan dengan kebutuhan komunitas mereka. Mungkin tak banyak yang menyadari tata ruang pesantren lama, pesantren tradisional yang berdiri sebelum awal abad 20, umumnya tersusun dengan pola yang berbasis budaya Nusantara. Bangunan di tengah berdiri sebuah masjid, bagian utra arau kanan ketika orang salat di masjid adalah rumah kiai dan diseberang rumah kiai pondokan santri. Pola tata ruang ini adalah gambaran peta kosmologi dalam pewayangan.
Deretan wayang yang akan dimainkan dalang tersusun dengan pola yang sama, di tengah tertancap gunungan disebut pula pekayon atau kayon (konon berasal dari kata Arab al-kawn atau hayyun) berbentuk pohon yang melambangkan pusat kehidupan. Di sebelah kanan deretan para punggawa yang bijak dan sebelah kiri para durjana yang jahat. Posisi rumah kiai di bagian uatara melambangkan status sebagai pembimbing spiritual (murad) menuju kehidupan semesta (al-kawn) yang berpusat di masjid yang berada di tengah. Pondokan santri di seberang rumah kiai sebagai komunitas yang memerlukan bimbingan, disebut murid berarti orang yang dalam proses menjadi. Tetapi bisa jadi juga tata ruang pesantren sebagai bentuk protes terhadap keraton yang mereka anggap sebagai wilayah yang kotor dan penuh gejolak duniawi. Seperti kita ketahui tata ruang keraton di Jawa berkebalikan dengan tata ruang pesantren.
Dalam praktik di banyak pesantren azan panggilan shalat dilakukan menjelang akhir waktu shalat. Azan zuhur berkumandang antara pukul 13-14, azan ashar kadang-kadang pukul 4 sore dan isya bisa lewat pukul 8 malam. Penundaan kumandang azan itu mereka sesuaikan dengan kebutuhan untuk menjaga harmoni cultural agar kegiatan belajar di pesantren tak terganggu. Bangunan masjid pun terdiri atas dua ruang untuk menjaga kesakralan masjid, ruang dalam sebagai ruang utama dan ruang luar bisa dipakai kegiatan belajar mengajar. Sangat berbeda dengan struktur bangunan masjid di timur tengah yang hanya terdiri satu ruang. Sementara di kampung-kampung sekkitar pesantren azan panggilan shalat berkumandang tepat di awal waktu karena para petani umumnya selesai melakukan tugas sebelum waktu shalat tiba.
Pola adaptasi kultural semacam itu terbukti menghasilkan harmoni social dan pada tingkat tertentu member sumbangan penting penyerapan nilai-nilai Islam dalam bentuk baru budaya Nusantara. Beberapa keterangan menggambarkan keadaan pendidikan Islam abad 19 di Indonesia umumnya memberi kesan negative tentang pesantren, setidaknya jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah barat. Pemerintah hindia belanda sama sekali tidak menganggap penting, sehingga pesantren tidak pernah tercatat dalam laporan resmi pemerintah. Ketika berniat membuka sekolah untuk pribumi yang disesuaikan dengan tradisi masyarakat desa, pemerintah menganggap pesantren tidak tepat untuk itu. Menurut mereka, metode pengajaran membaca teks Arab yang hanya menghafal tanpa pengertian terlalu jelek. Tetapi pesantren ternyata mampu eksis dan beradaptasi seiring dengan modernisasi pendidikan di Indonesia. Meski bantuan dan perhatian yang diberikan Negara kepada pesantren tak sebanding dengan peran mereka. Kini pesantren mencapai jumlah 18.000 unit.
Lembaga pesantren memiliki cirri penting adanya kharisma kiai yang memimpin pesantren. Pengaruh pesantren di dalam masyarakat banyak ditentukan oleh tokoh kiai pendiri pesantren. Semakin besar pengaruh kiai, mungkin karena penilaian kualitas keilmuan atau karena jaringan kiai dengan kiai lain ketika mereka sama-sama menempuh pendidikan sebelumnya, maka pengaruh pesantren terebut semakin luas sampai melewati batas daerah tempat pesantren itu berada. Saifuddin Zuhri Zamakhsyari Dhofir dan Karel A. Steenbrink menjelaskan secara baik dengan berbagai variasi pendekatan yang berbeda tentang jaringan pesantren dan pengaruhnya dalam masyarakat.
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan formal sekolah, sebab hubungan guru murid yang terbangun di dalam pesantren tak sekadar institusional atau birokratik formal sekolah, tetapi berlanjut ketika para santri sudah keluar pesantren. Faktor ini menambah luasan pengaruh kiai jika santri pesantren yang tinggal di pondok berasal dari daerah-daerah di luar batas kecamatan, kabupaten atau bahkan propinsi. Di masa lalu Hasjim Asy’ari di Jawa Timur, Ambo Dale di Sulawesi Selatan atau Arsyad Banjar di Kalimantan adalah sebagian dari pemimpin pesantren yang memiliki santri berasal dari daerah yang sebarannya sangat luas. Sekarang Abdullah Faqin di Tuban, Ilyas Ruchiyat di Tasikmalaya merupakan contoh kiai pesantren yang sangat berpengaruh, memiliki santri yang berasal dari berbagai daerah. Juga Abu Bakar Ba’asyir di Ngruki Solo.
Salah satu aspek penting dalam kehidupan sosial pesantren ialah adanya hubungan genealogis antar kiai pesantren di Jawa, baik karena hubungan perkawinan atau keturunan. Ketika seorang kiai pesantren mengadakan hajatan yang terjadi adalah sebuah reuni keluarga besar antar kiai pesantren. Belakangan ketika program transmigrasi ke luar Jawa mulai dilaksanakan, maka santri yang menamatkan pendidikan pesantren di Jawa ikut pula menyebar dengan mendirikan pesantren baru di luar Jawa seperti Lampung, Sumatera Selatan atau Kalimantan. Dengan demikian jaringan hubungan antar pesantren semakin luas, tak sekadar jaringan kekerabatan, tetapi juga jaringan guru murid. Dua pesantren di Kediri dan Blitar Jawa TImur masing-masing memiliki “cabang” sampai lebih 30 pesantren yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan yang didirikan mantan santri yang kembali pulang ke daerah asal mereka maupun santri asal Jawa yang bertransmigrasi membuka pesantren di tempat mereka tinggal. Bahkan kini ada pesantren yang membuka jaringan ke luar negeri jiran Malaysia dan Brunei Darussalam.
Kini sebagian besar pesantren membuka madrasah formal, sebagian lagi juga membuka sekolah nono madrasah dan sebagian kecil membuka perguruan tinggi agama. Pesantren tipe ini menyusun kurikulum pengajarannya sesuai dengan standar kurikulum yang disusun pemerintah dengan berbagai variasi penambahan bobot kecakapan tertentu misalnya dalam bidang bahasa Inggris, arab atau fikih.
Selain itu ada pesantren yang tetap mempertahankan kurikulumnya sendiri, jenjang sekolah yang ditempuh para santri berbeda dengan pesantren tipe tertentu. Satuan mata pelajaran yang disusun tiap kelas lazimnya bukan berdasar penguasaan standar bahan ajar tertentu melainkan berdasar penguasaan sejumlah buku atau kitab tertentu. Di masa lalu sejumlah pesantren besar memiliki spesifikasi keilmuan tertentu seperti Tebuireng Jombang kiainya dikenal ahli hadist atau Lirboyo Kediri kiainya dikenal ahli ‘ilmu alat’ atau tata bahasa Arab dan ada pula pesantren yang kiainya dikenal ahli tafsir atau fikih. Selain itu, juga ada pesantren yang berciri aliran tarekat tertentu, secara berkala mengadakan ritual zikir dan mengajarkan ajaran tarekatnya.
Mungkin tidak terlalu banyak pesantren yang masih member pengajaran kanuragan, perdukunan atau beladiri. Pesantren tipe ini gejalanya makin menurun jumlahnya dan akhir-akhir ini digantikan padepokan yang didirikan oleh orang atau kelompok non kiai yang memiliki kemampuan supranatural. Biasanya padepokan ini memiliki jaringan klien para selebriti atau masyarakat umum yang memerlukan terapi non medic. Tetapi ketika sebagian besar pesantren harus menyesuaikan kurikulumnya dengan kurikulum standard pemerintah, spesifikasi keilmuan tersebut makin kehilangan pamor apalagi ketika perguruan tinggi (IAIN) yang menjadi acuannya sejak tahun 1986 membuka kelas pascasarjana.
Model kelembagaan pendidikan pesantren memiliki karakteristik yang khas. Kiai selaku pemegang otoritas merupakan sosok sentral dalam pesantren. Perannya dalam pengembangan pesantren maupun masyarakatnya adalah sosok yang dapat dilihat dalam beragam wajah. Mantan menteri pendidikan Prijono sangat tertarik model kelembagaan pesantren dan kiai. Oleh karena itu, Prijono ingin menerapkan model kelembagaan pendidikan pesantren dengna peran kekiaian dalam lembaga pendidikan farming yang didirikan dengan luas tanah 200 hektar di Wonosobo. Tetapi dia gagal dan mengatakan ‘karena saya bukan kiai’ lalu siapakah sosok kiai?
Ada dua hal yang mengakari kekuatan kiai. Pertama, kredibilitas moral. Kedua, kemampuan mempertahankan pranata social yang diinginkan. Tidak semua fungsionaris pesantren adalah ulama yang mempunyai kedudukan, wibawa dan pengaruh yang sama. Clifford Geertz mengemukakan kemampuan kiai pesantren dalam mengontrol perubahan nilai tak lepas dari peran kiai sebagai cultural broker (makelar budaya), penyaring arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri, mengajarkan hal-hal yang berguna dan membuang yang merusak. Kemampuan kiai pesantren telah terbukti dalam mengontrol nilai dan budaya.
Cara pandang mereka terhadap kiai berbeda. Geertz memandang kiai sebagai makelar budaya, mentransformasi nilai-nilai budaya dari luar (Arab) dan menjadikan nilai-nilai itu sebagai pola kehidupannya dan kemudian mengajarkan kepada komunitasnya. Pada dasarnya kiai bukan pelaku utama perubahan yang terjadi di masyarakatnya, karena dia hanya sebagai agen budaya. Sebaliknya Harikoshi memandang kiai sebagai pelaku perubahan yang terjadi.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang mereka. Menurut Horikoshi nilai-nilai kekiaian yang diajarkan kepada masyarakat itu pada hakekatnya merupakan nilai-nilai universal, konsep kosmologi maupun filosofinya. Sementara Geertz melihatnya sebagai unit mikro budaya. Konsep kiai menurut Horikoshi tersusun dalam strata ajengan kiai dan ustad atau ulama. Keduanya berbeda pengetahuan keagamaan mereka. Ustad atau ulama memperoleh pendidikan yang memadai karena itu pengetahuan agamanya cukup baik, sementara ajengan lebih karena keturunan. Tetapi keduanya memiliki pengaruh, wibawa dan charisma terhadap komunitas mereka.
Selain itu, ada yang memetakan kiai menjadi kiai konservatif, kiai adaptif dan kiai progresif. Pemetaan ini didasarkan atas respon kiai terhadap perubahan social yang terjadi. Kiai konservatif cenderung mempertahankan tradisi lama dan sulit menerima perubahan social, kiai progresif cenderung menerima, sementara itu kiai adaptif melakukan penyesuaian terhadap perubahan. Berkaitan dengan aspek cultural dan politik, dipetakan menjadi empat, yakni: kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik dan kiai panggung. Kategorisasi yang hampir serupa kiai dibedakan menjadi tiga varian, yaitu kiai spiritual, kiai politik dan kiai advokatif. Kategorisasi ini didasarkan pada orientasi kiai. Kiai spiritual lebih peduli pada masalah politik. Kiai advokatif menerjemahkan ajaran-ajaran agama untuk menggerakkan dan sekaligus memberdayakan masyarakat baik dalam bidang ekonomi, social, dan pendidikan bagi kehidupan masa depan ummat.
Fenomena menarik mengenai latar belakang pendidikan kiai. Umumnya kiai dengan latar belakang pendidikan formal seperti IAIN atau pendidikan sejenis di Timur Tengah kurang memiliki ketangguhan dalam menghadapi tantangan bersosialisasi di masyarakatnya disbanding kiai dengan pendidikan murni pesantren. Sebab umumnya mereka cenderung membangun jaringan mobilitas vertical, sementara kiai pendidikan pesantren membangun kekuatan akar ke bawah. Peluang kiai pendidikan formal untuk meneruskan pendidikan lanjutan mendorong mereka lebih tertarik membangun akses vertical atau symbol-simbol dan status social, sementara kiai pendidikan pesantren tidak memiliki peluang itu, mereka menekuni membangun basis ke akar rumput. Karena itu seringkali pengaruh mereka lebih mengakar kuat.
Sebenarnya kecenderungan kiai pesantren memasuki dunia politik terjadi sejak lama. Seperti disinggung di awal, penataan tata ruang pesantren di Jawa berkebalikan dengan tata ruang keraton. Hal ini mengindikasikan sikap oposisi pesantren terhadap keratin dan menganggapnya sebagai dunia kotor penuh intrik dan kepentingan duniawiah. Ketika zaman penjajahan pun banyak kiai pesantren memimpin pemberontakan melawan penjajah. Tetapi keterlibatan sejumlah kiai pesantren dalam politik akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang berbeda. Salah satu factor penting ialah kegamangan kalangan kiai pesantren menghadapi tantangan dunia di luar pesantren. Berpolitik dalam arti terpilih menjadi anggota legislative atau pejabat lewat pemilu sebagai akes utama untuk mengatasi ketidakberdayaan pesantren tersebut.
Beragam varian kiai yang disebutkan itu menunjukkan bahwa peran kiai tidak tunggal. Tetapi apapun varian yang dibuat sosok kiai pesantren sebagai pendidik dan guru merupakan arus utama dari semua wacana kekiaian. Selama ini pendidikan pesantren, seperti dikemukakan di atas lebih menekankan adaptasi cultural untuk mempertemukan nilai-nilai universal agama ke dalam entitas budaya untuk mencapai tingkat harmoni tertentu dengan kesalehan hidup, baik spiritual maupun social. Aspek ini penting, tetapi proses pendidikan era sekarang tidak cukup penekanan pada aspek ini saja. Mengacu pada pendekatan taksonomi bloom proses pendidikan haruslah mengemban tiga aspek sekaligus: kognitif, afektif, dan motorik. Hal serupa juga dikemukakan Al-Ghazali (12M) dengan konsep life skills, pendidikan haruslah mengembangkan kemampuan hidup bermasyarakat meliputi aspek agama (afektif) dan kemampuan hidup duniawi (kognitif dan motorik), yaitu memiliki karakter dan landasan moralitas sekaligus mampu memerankan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya di tengah kehidupan masyarakat.

14.49

Siapa Peneliti?

Siapa Peneliti?

Oleh M Jacky, S.Sos, M.Si


Peran dan posisi peneliti dalam sebuah penelitian menjadi diskursus yang menarik sekaligus krusial ketika muncul beberapa paradigma baru dalam metode penelitian kualitatif. Bila sebelumnya metode kuantitatif (baca: paradigma positivis) dengan leluasa pendefinisikan dan memposisikan peneliti sebagai “orang yang obyektif” dengan wacana resmi: “netral”, “ahlinya” (“the expert”) dan “menjaga jarak dengan obyek yang diteliti”. Sebuah penelitian dikatakan “benar” (ilmiah) apabila bias peneliti tidak dihadirkan dalam sebuah penelitian dengan cara mendevaluasi, memarginalisasi bahkan silencing subyek (peneliti). Dalam sebuah penelitian sangat diharamkan adanya suara (voice), pandangan, interpretasi, jati diri, opini bahkan ideologi peneliti. Paradigma ini tidak membolehkan menggunakan kata “Saya” dalam sebuah penelitian tetapi harus diggantikan dengan bahasa simbol berupa “peneliti”, “periset” dan seterusnya. Tak hanya menghilangkan posisi peneliti, paradigma ini juga menghapus eksistensi subyek yang diteliti dengan mengganti responden, number (angka) dan representatif. Pendek kata, obyektifitas penelitian ditandai dengan “kematian” subyek (baik peneliti dan yang diteliti).

Keyakinan semacam itu mengalami anomali dan krisis di paradigma: pospositivis, konstruktivis/interpretatif dan kritis . Paradigma-paradigma itu mulai mewacanakan akan pentingnya bias dalam penelitian. Persis yang dikatakan oleh Hammersley dan Gomm bahwa persoalan bias tak bisa dihindari dalam sebuah penelitian . Namun bukan berarti persoalan obyektifitas sudah selesai. Kehadiran paradigma-paradigma baru itu semakin menambah banyaknya debat di seputar peran dan posisi peneliti.

Paradigma pospositivisme—akibat pengaruh teori Marx Weber, teori pertukaran sosial, teori pilihan rasional—mendemonstrasikan adanya sesuatu hal di luar yang obyektif, yakni sebuah subyektifitas. Realitas sosial tidak lagi dipahami dalam perspektif tunggal-monolitik, tapi mereka percaya bahwa realitas sosial adalah ganda: subyektif dan obyektif. Namun walaupun fakta sosial diakui ganda (adanya subyektivitas), mereka tetap memposisikan diri pada dominasi kebenaran positivisme. Komunitas ini masih menekankan desain studi pada konsep-konsep baku di seputar validitas, reliabilitas, dan obyektivitas serta masih mengunggulkan metode survei dan statistis. Tujuan penelitian adalah uji hipotesis/teori. Bedanya dengan penganut positivisme, aliran ini sudah mengalami anomali terhadap “metode normal” yang digagas oleh positivisme dengan melengkapi metodenya dengan wawancara—sebuah posisi paradoks dan ambivalen. Dengan fenomena semacam itu, tak jarang banyak ilmuwan sosial yang menyamakan antara positivisme dan pospositivisme.

Paradigma Interpretatif. Komunitas ini keluar dari asumsi dasar positivisme dan membangun wacana baru dalam menafsirkan sebuah realitas sosial. Pendekatan interpretatif melupakan tafsir realitas sosial yang tunggal ataupun ganda model positivisme dan pospositivisme. Kelompok ini yakin bahwa realitas sosial adalah hasil konstruksi sosial. Realitas empiris dibentuk oleh manusia. Tak heran mereka menolak terhadap hukum “kausalitas”/ “determinisme”, yang diyakini positivisme. Kaum interpretatif mencari makna realitas sosial dari manusia. Pendekatan interpretatif ini sekurang-kurangnya mengembangkan wacana alternatif di seputar tema: “konstruksi”, “interpretatif”, “subyektif (bias)”. Para fenomenalis percaya, fenomena adalah hasil konstruksi sosial. Realitas sosial adalah hasil konstruksi sosial, hasil dari cara berfikir, pembicaraan; dalam “drum” yang lebih luas, melalui konsensus yang dibuat tentang apa yang menjadi makna terdalam dari sebuah realitas sosial. Pemahaman dibentuk dengan cara menjelaskan dan cara menangkap realitas sosial. Pendek kata, realitas sosial adalah hasil kognisi dari proses intelektual.

Dengan kata lain, penganut pendekatan interpretatif meragukan “kebenaran tunggal” pendekatan positivisme, alasan studi, asumsi, konsep, metode, model/solusi didekonstruksi dan direkonstruksi ke dalam pemahaman yang lebih kompleks. Bagi mereka, positivisme telah gagal melihat realitas sosial akibat melakukan reduksi makna yang berlebihan terhadap realitas sosial dengan alasan obyektifitas. Komunitas ini berpandangan realitas sosial mungkin ada secara obyektif di dunia empiris, tapi dia bukanlah sesuatu yang mutlak dan tidak bisa diubah.

Paradigma Kritis. Mereka meragukan determinisme pendekatan positivisme yang monolitik dan hegemonik. Argumentasinya, pemahaman makna dengan pendekatan positivisme telah membuat realitas sosial itu menjadi “miskin” sehingga tak mampu mendekati subyek yang sesungguhnya kompleks. Dengan kata lain, pendekatan ini keluar dari determinisme struktur, kekuatan di luar individu menuju ke determinisme kekuasaan, ideologi, kebenaran subyektif. Paradigma kritis dipengaruhi oleh teori Marxisme. Asumsi mereka, realitas sosial selalu berubah dan perubahan disebabkan karena adanya ketegangan, konflik dan kontradiksi, yakni perebutan kekuasaan, dan konflik ideologi. Realitas sosial penuh dengan ilusi, mitos, dan distorsi. Tujuan penelitian adalah membongkar mitos kekuasaan dan hendak mengubahnya. Bagi mereka ilmu yang terpenting adalah sifat transformatifnya, yakni mengubah dunia yang eksploitatif dan mengentaskan manusia dari jebakan ideologi atau kesadaran palsu. Pendekatan yang baik, menurut komunitas ini adalah pendekatan yang mampu membantu manusia memahami dunianya dan memberikan bimbingan untuk mengubah relasi sosial yang timpang.

Pandangan minor positivisme yang membedakan antara ilmu dengan common sense ditentang. Bagi mereka common sense mampu menciptakan kebenaran, mampu menciptakan “realitas sosial baru”. Pendekatan kritik mengatakan bahwa peneliti sosial seharusnya mempelajari ide-ide subyektif, dan common sense karena menjadi dasar perilaku manusia. Paradigma kritis memandang pengetahuan adalah kekuasaan. Pengetahuan ilmu sosial dapat digunakan untuk mengontrol manusia, dapat diberikan untuk membantu mereka mengubah dan memperbaiki hidup mereka.

Paradigma Posmodernisme. Perdebatan metode kualitatif menyeruak ketika muncul paradigma baru yakni posmoderen. Ia menolak dengan tegas paradigma pospositivis yang telah mengurangi arti subyek, ia tampil dengan semangat baru melalui dekonstruksi terhadap mitos-mitos “kerapian teori”, “obyektif peneliti”, “netralitas peneliti”, “bebas nilai peneliti”, “totalitas metode”, “kebenaran universal” dan mengkonstruksi perlunya isu “kebenaran relatif subyektif” yang dikembangkan secara arif oleh subyek yang diteliti. Mereka meragukan determinisme pendekatan survei yang monolitik dan hegemonik. Argumentasinya, pemahaman makna dengan pendekatan survei (kuesioner) telah membuat realitas sosial itu menjadi “miskin” sehingga tak mampu mendekati subyek yang sesungguhnya kompleks, singkat kata “trandiskursif”. Dengan kata lain, kualitatif model ini keluar dari determinisme angka, representatif, obyektif menuju ke determinisme kekayaan, kompleksitas dan refleksifitas. Asumsi mereka, “realitas sosial adalah jamak dan saling bersaing (diskursus)”. Realitas sosial dibentuk oleh kekuasaan/ pengetahuan.

Mengikuti perspektif di atas, bagi paradigma posmodernisme realitas sosial pada dasarnya diinterpretasi atau ditangkap dengan bentuk ideologi tertentu, sesuai dengan kepentingannya, kemudian direproduksi menjadi realitas sosial “baru”. Reproduksi melalui statement sehingga harus dipahami dalam bentuk diskursus (discourse), karena kata-kata tak netral, selalu dibingkai oleh diskursus tertentu. Pendek kata, orang memproduksi diskursus untuk membentuk realitas sosial melalui proses “pemenangan makna” dan “persaingan makna”.




Bias Kebenaran “Ortodoks-Positivis”
“Revisionis-Pragmatis”, Dan “Progresif-Alternatif”

Mengikuti perspektif di atas, terlihat dengan jelas adanya perang tanding antar paradigma atau komunitas ilmuwan dan peneliti dalam memahami dan mengkonsepsikan “kebenaran”—tujuan studi adalah mencari kebenaran terhadap sebuah isu, subyek, tema, kasus dan seterusnya. Pelajaran yang dapat diambil adalah “kebenaran itu tidaklah tunggal”; dalam arti setiap paradigma memiliki standar sendiri-sendiri tentang ‘kebenaran, tentang apa yang patut dan tidak patut, pantas dan tidak pantas’. Pendek kata, kebenaran tak luput dari “bias”, persis yang dikatakan oleh Hammersley dan Gomm bahwa tak dapat dipungkiri di dalam studi ilmu sosial terdapat beberapa paradigma dan tiap-tiap paradigma itu ada konsensus sendiri-sendiri ikhwal standar tentang nilai-nilai kebenaran (validitas):

Kebenaran tentu saja dapat diidentifikasi kembali dalam istilah relatifis sehingga apa yang diklaim benar menjadi apa yang diyakini benar dalam beberapa komunitas tempat anggota berbagai perspektif tertentu. Kesalahan dan bias menghadirkan penyimpangan dari kebenaran seperti ditentukan secara konsensus dalam komunitas tertentu. Suatu kebenaran tak dapat digunakan untuk mengidentifikasi bias dalam perspektif dari anggota komunitas epistemik lainnya, paling tidak tanpa pertentangan diri sendiri. Argumen Kuhn (1970) bahwa perbedaan paradigma adalah tak dapat diterima dalam makna yang penuh: hal ini tak memberi makna, dari sudut pandang relatifis, bagi anggota dari komunitas epistemik untuk menuduh anggota dari komunitas lain adalah bias karena pandangan mereka berbeda dari apa yang dianggap oleh komunitas itu benar, rasional dan sebagainya.

Mengikuti pandangan Hammersley dan Gomm, dan belajar dari kasus perang tanding antar wacana dalam paradigma di atas, maka secara sosiologis periset dan ilmuwan sosial dapat ditipologikan menjadi tiga model. Pertama, “Ortodoks-Positivis”. Ilmuwan dan peneliti yang percaya bahwa kuantitatif adalah satu-satunya metode yang “paling benar”. Mereka mengklaim di luar kuantitatif, kualitatif sebagai misal, bukanlah ilmu tapi “mitos”, karena “tidak valid”, “tidak obyektif, “hanya spekulatif” dan “penuh bias”. Hammersley menyebut kelompok ini sebagai “Aliran Fundamentalis”. Mereka mengidentikkan kebenaran dengan berpaling pada wacana dominan “obyektivitas”, “bebas nilai”, “empiris”, “rasional”, “statistik” dan seterusnya. Pendek kata, mereka menyakini adanya kebenaran universal [matematis] di balik klaim ‘kolot’ positivis.

Kedua, “Revisionis-Pragmatis”. Ilmuwan sosial dan peneliti yang mempunyai keyakinan, metode tergantung pada “obyek” yang diteliti (kuantitatif dan/atau kualitatif). Hammersley dan Gomm menyebut kelompok ini sebagai “Aliran Non-fundamentalis”. Pada sisi-sisi tertentu mereka menggunakan kombinasi antara kuantitatif dan kualitatif. Namun mereka secara sadar memenangkan isu kebenaran dari komunitas yang pertama (“obyektif”), walau subyektifitas diakui. Subyektifitas diakui untuk dihindari dengan cara melakukan wawancara, analisis wacana, di samping metode kuesioner. Sebuah komunitas yang merasa yakin bahwa realitas sosial adalah “ganda”: “obyektif dan subyektif”. Tetapi karena mereka tetap terpengaruh oleh doktrin kuat positivis, “kebenaran” masih dibungkus dengan fatamorgana “rasional”, “empiris”, “bebas nilai”, “riabelitas” dan seterusnya. Sementara mereka mengklaim subyektif adalah mitos yang tak dapat dipertanggungjawabkan, sesuatu yang menciderai intelektualitas, sehingga harus direduksi ke dalam obyektivitas. Pendek kata, mereka percaya ada fakta yang subyektif, tapi harus dihindari atau dihilangkan karena memiliki nilai kebenaran yang rendah. Sebuah paham yang beranggapan bahwa di atas subyektivitas ada obyektivitas yang memiliki validitas tinggi.

Ketiga, “Progresif-Alternatif”. Peneliti yang percaya bahwa kuantitatif “salah besar” dan “gagal total” dalam membaca, merespon dan memahami fenomena, yang benar, bagi mereka, adalah kualitatif. Hammersley dan Gomm menyebut komunitas ini sebagai “Aliran Relativisme”. Masuk dalam kategori ini adalah paradigma posmodernis. Mereka menyakini realitas sosial adalah jamak, saling bersaing, jelas, tak mampu didekati dengan paham obyektifitas yang dibanggakan oleh positivis karena pada saat studi dilakukan, di sana bersembunyi penilaian. Mereka memahami proses riset, suka atau tak suka, sadar atau tak sadar, telah memenangkan sebuah makna. Dalam konteks seperti inilah solusi yang terbaik bagi mereka adalah mendekati “kebenaran” dengan perspektif subyek sendiri. Bagi mereka, realitas sosial adalah hasil konstruksi sosial sehingga harus melibatkan pengalaman, ideologi yang tak terlepas dari pengaruh desain struktural dan kultural. Implikasi praktisnya, “kebenaran” hanya dapat diperoleh dengan jalan membiarkan subyek studi berbicara sendiri dan bukannya dengan metode kuesioner yang dibuat di balik meja. Jelas, kuesioner, tak mampu menangkap realitas sosial yang sebenarnya jamak, hanya akan “memiskinkan” realitas sosial. Pendek kata, yang benar adalah kualitatif. Sebuah pendekatan yang memotret realitas sosial dalam wajah kekayaan, kedalaman dan kompleksitasnya.

Singkat kata terdapat kecenderungan yang kuat akan pentingnya penelitian yang obyektif tapi dalam perspektif yang berbeda dengan paradigma sebelumnya. Sebuah studi dikatakan obyektif bila menghadirkan secara penuh suara, pandangan, ideologi subyek yang diteliti. Selain itu, subyektiftas peneliti juga diberikan ruang. Peneliti dengan sadar mengakui bias yang tak bisa dihindari. Untuk itu profil subyek peneliti patut dikemukakan secara gamblang dalam penelitian. Dalam konteks ini subyek (peneliti dan yang diteliti) berada dalam posisi yang egaliter dan sama-sama aktif mengemukakan gagasan, pandangan hidupnya dan interpretasinya. Sebuah era kembalinya sang pengarang. (mjq)

07.39

Sigmund Freud: Agama Sebagai Neurosis

SIGMUND FREUD

PSIKOANALISIS-Freud mengemukakan konsepnya mengenai psikoanalisis, yang diklaim olehnya sebagai metode penyembuhan pasien-pasiennya yang mengalami gangguan syaraf (neurosis), yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan, namun hanya dengan psikoanalisis yang intens inilah seorang pasien neurosis dapat disembuhkan melalui pendekatan-pendekatan investigasi melalui percakapan mengenai peristiwa yang menyebabkan problem yang dialami pasien. Praktik psikoanalisis ini dimulai dari mendengarkan seorang pasien yang pada setiap janji pertemuan didorong rsa nyaman untuk mengatakan apa saja yang ada di dalam pikiran tanpa suatu rentetan yang logis atau garis cerita. Freud juga berpendapat bahwa setiap orang pada gilirannya pasti akan mengalami neurosis yang berupa mimpi-mimpi dalam tidurnya, mimpi-mimpi ini muncul ketika orang berada pada permukaan kesadaran serta muncul sebuah dorongan atau tekanan yang harus segera dipenuhi seketika itu juga namun tidak dapat terpenuhi, sehingga dorongan itu harus ditekan kedalam bawah sadar yang kemudian muncul dalam bentuk mimpi ataupun dalam bentuk tingkah laku neurosis yang aneh.

AGAMA-Kemudian Freud melihat ada gejala yang hampir sama antara perilaku pasien neurosis dengan perilaku orang beragama (aktivitas keagamaan seseorang). Ada tingkah laku yang aneh, ritual-ritual yang dilakukan secara rutin dan sebagainya. Misalnya, keduanya banyak menekankan pada pelaksanaan hal-hal menurut cara upacara yang terpolakan, keduanya juga merasa bersalah jika tidak mengikuti aturan ritualmereka hingga sempurna. Maka sebagaimana represi pada seks mengakibatkan neurosis obsesional individual, agama, yang dipraktikkan secara luas oleh bangsa manusia, tampaknya merupakan suatu neurosis obsesional universal. Freud berkeyakinan bahwa pilihan untuk beragama merupakan sebuah kesalahan. Freud sendiri adalah seorang atheis natural semenjak awal hidup hingga akhir hayatnya, freud tidak menemukan alasan untuk percaya pada Tuhan dan karena itu dia tidak melihat nilai atau tujuan dalam ritual kehidupan agama. Pada saat yang sama freud menyatakan bahwa kepercayaan terhadap agama adalah tahayul yang menarik. Dalam pandangannya, tingkah laku agama selalu menyerupai penyakit jiwa, dengan demikian, konsep yang paling sesuai untuk menjelaskan agama adalah konsep yang telah dikembangkan oleh psikoanalisis.

TOTEM DAN TABOO-Freud beralih kepada dua praktik orang-orang primitif yang dianggap sangat aneh oleh pikiran modern: penggunaan bunatang “totem” dan adat kebiasaan tentang “taboo”.dalam kasus yang pertama, sebuah suku atau klan memilih untuk mengasosiasikan dirinya dengan binatangt tertentu (atau tumbuh-tumbuhan), yang dianggap sebagai objeknya yang suci, “totem”nya. Taboo yang dimaksud disini pada masa masyarakat primitif berupa, pertama adalah tak diperbolehkan adanya memakan atau membunuh binatang totem, kecuali pada peristiwa seremonial tertentu yang jarang. Kedua ialah tidak boleh inces dengan klan atau keluarga dekat. Di kalangan orang-orang primitif hampir selalu ada sesuatu yang oleh Freud disebut dengan “ketakutan inces”.

THE FUTURE OF AN ILLUSION-Ajaran agama bukanlah kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan, bukan pula kesimpulan logis yang didasarkan pada bukti yang diperoleh secara ilmiah. Sebaliknya, ajaran agama adalah ide-ide yang ciri utamanya adalah bahwa kita sangat menginginkan kebenaran dari ajaran itu. Ajaran-ajaran agama adalah harapan ummat manusia yang paling mendesak, paling kuat, dan paling tua. Rahasia kekuatannya terletak pada kuatnya harapan itu. Ajaran agama harus dilihat sebagai kepercayaan dan peraturan yang cocok untuk bangsa manusia di masa kanak-kanak. Dalam sejarah ummat manusia sebelumnya “pada masa kebodohan dan kelemahan intelektual”, agama tak dapat dihindarkan, seperti masa neurosis yang dilalui oleh setiap individu pada masa kanak-kanaknya. Namun, saat terjadi kegagalan untuk mengatasi trauma dan represi dari kehidupan sebelumnya dan neurosis tetap bertahan hingga masa dewasa. Agama yang masih bertahan hingga sekarang hanya merupakan tanda penyakit, untuk memulai meninggalkannya adalah tanda kesehatan yang pertama, Freud menjelaskan sebagai berikut: ”agama adalah neurosis obsesional universal seperti neurosis obseisonal dari anak-anak, ia muncul dari oedipus kompleks, dari hubungan dengan ayah. Jika pandangan itu benar, dapat diduga bahwa pemalinga dari agama akakn terjadi pada proses pertumbuhan penting yang tak dapat dielakkan, dan bahwa pada titik waktu ini, kita menemukan diri kita dalam pertengahan dari fase perkembangan itu”. Singkatnya, ketika umat manusia masuk dalam kehidupan dewasa, Ia harus membuang agama dan menggantinya dengan bentuk-bentuk pemikiran yang sesuai dengan masa dewasa. Menurut Freud, orang-orang yang dewasa membiarkan hidupnya diatur oleh akal dan sains, bukan tahayul dan agama.

Menurut Freud, Jika kita ingin mengetahui mengapa agama dapat betahan meskipun telah didiskreditkan oleh sains dan filsafat yang lebih baik, maka kita hanya perlu beralih kepada psikoanalisis yang mengatakan kepada kita secara jelas bahwa sumber daya tarik agama yang utama dan sesungguhnya bukanlah pikiran rasional tetapi bawah sadar. Agama muncul dari emosi dan konflik yang berasal dari awal masa kanak-kanak dan berada dibawah permukaan bawah kepribadian yang normal dan rasional. Ia paling paling baik dilihat sebagai neurosis obsessional. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi menduga bahwa orang-orang beriman akan meninggalkan keimanan mereka karena agama terbukti irrasional dibandingkan bahwa seorang neurotik akan berhenti dari cuci tangan secara terus menerus karena seseorang telah menunjukkan bahwa tangannya betul-betul telah bersih.

Freud menyatakan bahwa agama hanya muncul sebagai respon terhadap konflik dan kelemahan emosional yang dalam, ia menegaskan bahwa semua ini sebenarnya merupakan sebab yang fundamental sesungguhnya, akibatnya setelah psikoanalisis memecahkan persoalan tersebut secara ilmiah, kita dapat berharap ilusi agama betul-betul secara alami menghilang dari pandangan manusia.