16.24

Teori Gender

Sosialisasi Gender
Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu, gender dapat berubah. Proses sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan aspirasi semacam ini dalam sosiologi dinamakan sosialisasi gender (gender socialization). Sebagaimana halnya dalam sosialisasi pada umumnya, maka dalam soisalisasi gender agen penting yang berperan pun terdiri atas keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa.

Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi gender pun berawal pada keluarga. Keluargalah yang mula-mulamengajarkan seorang anak laki-laki untuk menganut sifat maskulin, dan seorang anak perempuan untuk menganut sifat feminin. Melalui proses pembelajaran gender, yaitu proses pembelajaran feminitas dan maskulinitas yang berlangsung sejak dini, seseorang mempelajari peran gender yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.
Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-laki sudah berawal semenjak seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir, bayi perempuan sudah sering diberi busana yang jenis dan warnanya semakin mencolok manakala usia mereka semakin bertambah. Perlakuan yang diterima pun sering cenderung berbeda, oleh orang tua dan kerabat lain bayi laki-laki serong diperlakukan lebih kasar daripada bayi perempuan. Dalam berkomunikasi lisan dengan seorang bayi sang ibu, bapak, kerabat lain maupun orang dewasa sering memperlakukan bayi perempuan secara berbeda dengan bayi laki-laki. Bayi laki-laki, misalnya, diberi julukan maskulin seperti gagah atau tampan, sedangkan bayi perempuan diberi julukan feminim seperti cantik atau manis.
Salah satu media yang digunakan oleh orang tua untuk memperkuat identitas gender ialah mainan, yaitu dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin. Dengan meningkatnya usia anak, jenis mainan yang berbentuk peralatan rumah tangga seperti peralatan memasak dan menjahit, sedangakan anak laki-laki diberi mainan yang berbentuk kendaraan bermotor, alat berat, alat pertukangan atau senjata.

Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak. Di bidang sosialisasi gender pun, kelompok bermain menjalankan peran cukup besar. Di jumpainya segregasi menurut jenis kelamin anak perempuan bermain dengan anak perempuan, dan anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki, merupakan suatu kebiasaan yang cenderung memperkuat identitas gender.
Di kala berada dalam kelompok bermain laki-laki seorang anak laki-laki cenderung memainkan jenis permainan yang lebih menekankan pada segi persaingan, kekuatan fisik dan keberanian sedangkan dalam kelompok bagi perempuan anak perempuan cenderung memainkan permainan yang lebih menekankan pada segi kerja sama. Setelah anak-anak beranjak dewasa mereka mulai belajar berbagai teknik menghadap lawan jenis mereka. Remaja laki-laki belajar dari teman-temannya bahwa laki-laki harus senantiasa berani dan agresif. Sedangkan perempuan dididik oleh sesamanya bahwa perempuan harus cenderung pasif, bertahan, mampu mempertahankan kehormatannyaserta memilih siapa laki-laki yang diterima.
Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain pun menerapkan kontrol sosial bagi anggota yang tidak menaati aturannya. Seorang anak laki-laki yang memilih untuk bermain dengan mainan anak perempuan dan berkumpul dengan mereka cenderung dicap “banci” dan menghadapi resiko dikucilkan. Hal serupa dihadapi anak perempuan yang berorientasi pada permainan anak laki-laki dan bermain dengan mereka, yang dapat dicap sebagai “tomboy”.

Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagai agen sosialisasi gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya, kurikulum formal. Dalam mata pelajaran prakarya, misalnya, ada sekolah yang memisahkan siswa dengan siswi agar masing-masing dapat diberi pelajaran berbeda. Siswi, misalnya, dapat diminta mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan ekonomi rumah tangga pelajaran olahraga siswa mungkin diminta mempelajari jenis olahraga yang brbeda dengan siswi.
Pembelajaran gender di sekolah dapat pula berlangsung melalui buku teks yang digunakan. Ada buku teks IPA yang cenderung mengabaikan kontribusi ilmuwan perempuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta kesenian. Pun ada buku pelajaran olahraga dan kesehatan yang dalam mengajarkan berbagai olahraga mengabaikan olahragawati dengan hanya menonjolkan gambar olahragawan.
Pemisahan yang mengarah ke segregasi menurut jenis kelamin sering terjadi manakala siswa mulai dijuruskan ke bidang-bidang ilmu tertentu. Siswi sering dikelompokkan ke bidang ilmu sosial dan humaniora, sedangkan siswa cenderung dikelompokkan ke bidang ilmu pengetahuan alam. Segregasi yang berawal di jenjang pendidikan menengah ini cenderung berlanjut ke jenjang pendidikan tinggi.

Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Media massa ,baik media cetak maupun elektronik, sering memuat iklan yang menunjang stereotipe gender. Iklan yang mempromosikan berbagai produk rumah tangga seperti zat pembersih lantai, pembasmi serangga, sabuncuci, tapal gigi, bumbu masak, minyak goreng, misalny acenderung menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang merupakan simbol status dan kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung menampilkan model laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di ranah publik berjumlah banyak, namun iklan demikian menekankan pada jenis pekerjaan yang cenderung diperankan oleh perempuan dan menempati posisi rendah dalam oraganisasi, seperti misalnya peran sebagai respsionis, pramugari, sekretaris, atau kasir dan bukan pada jabatan berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur bank atau kapten penerbang.
Gerakan sosial kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan gender telah mulai membawa dampak pada dunia periklanan. Berbagai iklan di media massa kini sudah mulai menampilkan kepekaan dengan jalan menghindari stereotipe gender dan menonjolkan persamaan peran gender. Meskipun demikian, gerakan tersebut hingga kini masih belum mampu menanggulangi praktik pemuatan iklan yang mengandung stereotipe gender.


TEORI-TEORI GENDER
Teori Nature/Kodrat Alam
Secara biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda kodrat fisik yang berbeda tersebut berpengaruh pada kondisi masing-masing. Perbedaan kodrat bilogis antara keduanya berakibat pada perbedaan perangai psikologis keduanya. Kodrat perempuan dengan perangainya tersebut mengharuskan untuk mengasuh anak dan membereskan semua urusan rumah tangga sebaliknya laki-laki dengan fisik dan perangainya sebagaimana yang disebut diatas sudah semestinya melakukan kegiatan diluar rumah untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga sekaligus memberi perlindungan terhadapnya. Ditegaskan oleh Sanderson (1995: 411) bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam membentuk pembagian peran antara kedua jenis kelamin tersebut.

Teori Nurture dan Kebudayaan.
Teori ini tidak setuju bahwa pemilahan posisi dan peran laki-laki dan perempuan merupakan kodrat alam faktor biologis tidak menyebabkan keunggulan laki-laki terhadap perempuan , penilaian sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing-masing (Sanderson, 1995: 409). Dengan demikian apa yang disebut dengan sifat kelaki-lakian dan kewanitaan merupakan hasil pemupukan melalui kebudayaan, lebih khussnya melalui pendidikan. Menurut teori kebudayaan dengan prespektif materialis, erjadinya keunggulan laki-laki terhadap perempuan karena dikonstruksi oleh kebudayaan dengan bergesernya benda yang bresifat komunal menjadi milik pribadi. Dari perspektif ini lahir pemilahan peran dan posisi laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang memiliki akses lebih besar ke benda-benda produktif dikonstruksi untuk berperan di sektor publik, sebaliknya perempuan yang kebutuhan ekonominya di penuhi oleh laki-laki cukup berperan melayani laki-laki di sektor domestik.

Teori Psikoanalisis
Teori ini ditemukan oleh Sigmund Freud. Teori ini berpangkal pada penis evy (iri pada laki-laki), maksudnya pada seorang perempuan pertama kali melihat anak laki-laki ia menjadi sadar bahwa dirinya memiliki kekurangan sesuatu begitu juga sebaliknya.
Keitiak anak perempuan menjadi dewasa, keinginan untuk memilik kelamin laki-laki berubah menjadi keinginan memilih bayi, kalau laki-laki berkembang menjadi senang pada perempuan, maka perempuan berkembanga jadi senanga kepada bayi sebgai ganti keingingannya untuk memiliki kelamin laki-laki. Kebahagiaan seseorang perempuan akan besar sekali bila kemungkinan keinginannya untuk memilki bayi laki-laki karena bayi laki-laki membawakan kelamin yang diidami-damkannya (Budiman, 1985: 8).
Saumsi dasar teori ini banyak dikritik, salah satu yang tidak bisa dijelaskan teori ini adalah jika perempuan iri terhadap alat kelamin yang dimiliki laki-laki dengan benutknya yang menonjol, mengapa pada pihak laki-laki tidak berlaku hal yang sama. Iri terhadap alat kelamin perempuan karena apa yanbg dimilikinya juga berbeda dengan alat kelamin yang dimilki oleh perempuan.

Teori Fungsionalisme Struktural
Teori ini tidak secara langsung menyinggung masalah pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan. Namun berdasarkan pandangan teori ini menyatakan bahwa masyarakat adalah merupakan suatu sistem terdir dari bagian-bagian yang terkait, masing-masing bagian akan secara terus menerus mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni. Menurut teori ini, penyimpangan ynag melanggar norma akan melahirkan gejolak. Jika terjadi gejolak maka masing-masing bagian akan berusaha secepatnya menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan kembali. Oleh karena itu, harmoni dan integrasi dipandang sebagai fungsional.

Teori Identifikasi
Menurut teori identifikasi, anak dibentuk sebagai individu yang diharapkan oleh masyarakatnya melalui proses identifikasi. Adapun yang dimkasud dengan identifikasi adalah proses dengan mana individu menginternalisasikan sepernagkat perilkau, sikap, dan karakteristik yang sangat dekat dengan individu tersebut.

Teori perkembangan kognitif/ sosial
Menurut teori ini individu berusaha untuk menjadi orang yang ideal melalui sosialisasi sendiri. proses aktif ini menjadi dasar bagi penciptaan stereotipe dan naskah peran gender. Anak-anak didorong menjadi individu seperti kategori yang telah diciptakannya. Mereka akan mengimitasi perilaku yang dinilai sangat penting begi seksnya dan mengadopsi yang sesuai dengan penilainnya menjadi anak perempuan atau laki-laki yang “baik”, dan anak-anak termotivasi untuk menjadi seperti itu. Jadi pencapaian peran gender bergantung pada keinginan anak untuk memodelkan dirinya sendiri setelah konsep peran gender mereka.

Dominasi Budaya Patriarki
Secara umum patriarki dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah). Dalam sistem ini laki-laki berkuasa untuk menentukan sistem ini dianggap wajar sebab disejajarkan dengan pembagian kerja berdasarkan seks. Ada yang meyakini bahwa budaya patriarki sebagai suatu sistem bertingkat yang telah dibentuk oleh suatu kekuasaan yang mengontrol dan mendominasi pihak lain. Pihak lain ini adalah kelompok miskin, rendah, lemah, tidak berdaya juga lingkungan hidup dan perempuan.
Sedangkan di indonesia akar patriarki bersumber di berbagai aspek pembagian kerja dan fungsi dalam masyarakat, feodalisme dan ajaran agama. Tradisi kolonialisme, imperialisme, kapitalisme. Seperti contoh di Irian, perempuan di daerah ini mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam keluarga. Urusan keluarga ada pada keputusan perempuan. Masyarakat mengakui kekuatan perempuan ini, laki-laki berpoligami tujuan semula adalah unutk meningkatkan kekuatan hidup mereka. Laki-laki di irian tidak akan merasa berat bebannya, meskipun memiliki istri lebih dari satu karena mereka mengurus hidupnya masing-masing. Pemahaman demikian ini mengubah hubungan yang semula horizontal mejadi vertikal.
Budaya patriarki begitu kuat menonjol dan demikian seolah begitu adanya dan tidak terelakkan. Dari gambaran-gambaran tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi hubungan perempuan dan laki-laki berdasarkan daerah lapangan pekerjaan keluarga dan masyrakat. Apabila proses perubahan sosial kita amati, ternyata semua hubungan perempuan dan laki-laki adalah hubungan partner. Sistem itu berubah ke arah patrilineal justru karena pengaruh dari luar seperti feodalisme dan kapitalisme.


DAFTAR PUSTAKA
Mufid, Ahmad Syafi’i. 2002.Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam untuk kelas 1 SLTP, Jakarta: Ghalia Indonesia.

---------------------, 2002. Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam untuk kelas 3 SMU, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Muthali’in, Ahmad. 2001. Bias Gender Dalam Pendidikan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press.

Murniati, A. Nunuk. 2004. Getar Gender. Magelang: Indonesiatera.

Oksiana, Jatiningsih. 2003. Paradigma Jurnal Ilmu-ilmu Sosial. Surabaya: Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Surabaya.

Wahid, Achmadi. dan Masrun. 2005. Pendidikan Agama Islam untuk SMP kelas 3, Jakarta: Ganeca Exact.

Widy, Hastanty. 2004. Diskriminasi Gender (Potret perempuan dalam hegemoni laki-laki) Suatu Tinjauan Filsafat Moral. Jogjakarta: C.V. Hanggar Kreator.

(http://www.icrp-online.org) 28 Agustus 2006 - 04:55s

0 komentar: