15.00

Teori dan konsep Wacana

Analisis Wacana

Daniel Sparingga

Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Airlangga


Teori dan konsep Wacana


Istilah wacana yang diterjemahkan dari kata discourse itu secara luas digunakan dalam teori dan analisis sosial untuk merujuk berbagai cara menstrukturkan pengetahuan (knowledge) dan praktek sosial (Social Practice) (Brown and Yule, 1983; Coulthard, 1977). Seperti yang dikemukakan oleh Faircoulgh (1992), wacana termanifestasikan melalui berbagai bentuk khusus penggunaan bahasa dan simbol lainnya. Wacana, karena itu, tidak dapat dilihat sebagai sebuah cerminan atau perwakilan dari entitas dan hubungan sosial, melainkan sebagai sebuah konstruksi atau semua itu. Wacana yang berbeda mengkonstruksi entitas kunci secara berbeda pula. Bisa dimengerti apabila wacana yang berbeda selalu memposisikan orang dalam cara yang berbeda sebagai subjek sosial. Ikhwal inilah yang menjadi pusat perhatian dari sebuah analisis wacana. Dengan perkataaan lain, analisis wacana menekankan pada kajian bagaimana sebuah realitas sosial dikonstruksikan melalui bahasa dan simbol lainnya menurut cara-cara yang tertentu dan yang dipahami sebagai sebuah usaha sistematis untuk menimbulkan efek yang khusus.
Konsep wacana memang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran sentral Foucault (1972, 1979, 1980, 1990) yang melihat realitas sosial sebagai arena diskursif (discursive field) yang merupakan kompetisi tentang bagaimana makna dan pengorganisasian institusi serta proses-proses sosial itu diberi makna melalui cara-cara yang khas. Dalam pengertian yang demikian ini, ”wacana merujuk pada berbagai cara yang tersedia untuk berbicara atau menulis untuk menghasilkan makna yang didalamnya melibatkan beroperasinya kekuasaan untuk menghasilkan objek dan efek tertentu ” (Weedon, 1987: 108). Dengan kata lain, wacana melekatkan apa yang didefinisikan sebagai pengetahuan (knowledge) dan karena itu, juga kekuasaan (power).
Bagi Foucault (1979: 27), kekuasaan (power) selalu berimplikasi pada pengetahuan (knowledge). Begitupun sebaliknya, tidak ada pengetahuan yang tidak berkorelasi dengan kekuasaan. Bagi Foucault, power/knowledge, dalam ekspresi yang berbeda, Foucault ingin menegaskan bahwa penguasaan kekuasaan menciptakan objek-objek baru pengetahuan dan sistem informasi. Pada gilirannya, pengetahuan secara konstan memproduksi efek-efek kekuasaan. Menurut Foucault (1980: 131), tidak ada pengetahuan yang dapat dibentuk tanpa sistem komunikasi, akumulasi dan pengorganisasian catatan yang tidak lain adalah merupakan bentuk kekuasaan yang berhubungan, dalam keberadaan dan fungsinya, dengan bentuk-bentuk kekuasaan lainnya. Sebaliknya, tidak ada kekuasaan dapat diwujudkan tanpa ekstrasi, penambahan, distribusi, atau penyimpangan pengetahuan.
Wacana, secara umum sungguh sangat berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar berikut ini: bagaimanakah sebuah pernyataan lebih mengemuka daripada yang lain? (Foucault, 1972: 27). Setiap wacana, karena itu, harus dilihat dalam konteks yang didalamnya sedang mengoperasikan prosedur dan peraturan yang khas. Melalui ini, wacana selalu menyertakan sebuah paket tentang kondisi-kondisi yang membuat sesuatu menjadi mungkin dan kendala-kendala institusional serta aturan-aturan internal tentang apa yang dapat dan tak dapat dikemukakan. Pemahaman tentang ikhwal ini sangat penting untuk mengerti bagaimana apa yang dikemukakan dalam sebuah pernyataan atau teks itu sesuai dengan seluruh jaringan yang di dalamnya memiliki sejarah dan kondisinya sendiri tentang keberadaannya –sebuah sejarah yang tentu saja berbeda maknanya dengan yang digunakan para filsuf dan sejarahwan (Barret, 1991: 126). Hasilnya, menurut Flax (1992) setiap wacana selalu memuat sesuatu yang memungkinkan (enabling) dan membatasi (limiting).
Mengikuti pemikiran Foucault (1979, 1980), Flax (1992) melihat bahwa aturan-aturan yang terdapat dalam sebuah wacana memungkinkan orang memproduksi sebuah pernyataan dan menghasilkan klaim kebenaran atasnya. Walaupun begitu, aturan-aturan itu pula lah yang mengharuskan orang untuk tetap berada di dalam sistem yang sedang beroperasi dan hanya menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan aturan-aturan itu. Karena itu, “sebagai sebuah kesatuan”, wacana tidak pernah salah atau benar karena kebenaran yang diproduksi selalu kontekstual dan bergantung pada aturan-aturan yang berlaku” (Flax, 1992: 452).
Hal terpenting lainnya yang patut dicatat dalam memahami wacana adalah beroperasinya proses inklusi/eksklusi. Formasi wacana untuk tidak pernah merupakan sekedar urutan pernyataan sebagaimana lazimnya ditemukan dalam pemahaman klasik kita tentang gagasan, buku, sekolah dan semacamnya. Dalam setiap wacana selalu ada sistem yang mengorganisasikan pengetahuan (dan karena itu “kebenaran”, dan karena itu pula “realitas sosial”) dalam sebuah hierarkhi. Susunan hierarkhi inilah yang secara sistematis menempatkan apa-apa saja yang dianggap patut –tak patut, benar-salah, betu-keliru ke dalam makna-makna partikular menurut definisi dan aturan yang beroperasi dalam wacana itu (Sparingga, 1997). Dalam prakteknya,aturan yang beroperasi dalam wacana itu selalu melibatkan konsep yang oleh Edward Said (1978) disebut dengan “other” –sebuah konstruksi realitas yang menempatkan kebenaran secara biner, berhadap-hadapan, frontal dalam sebuah spektrum dimana yang satu atau mendevaluasi (devalue), atau memarjinalkan (marginalise), atau bahkan membungkamkan (silencing) yang lain.


Analisis Wacana : Sebuah Implikasi Metodologis

Implikasi dari uraian-uraian teoritis tentang wacana sebagaimana dikemukakan di atas tadi membawa kita pada sebuah posisi metodologis yang tentu untuk membantu usaha pemahaman kita tentang ikhwal ini. Berikut akan saya kemukakan pokok-pokok pemahaman tentang bagaimana analisis wacana sebagai sebuah metode bekerja. Penyebutan beberapa contoh, bilamana dianggap perlu, akan diberikan untuk memperjelas beberapa pengertian dasar.
1. Dalam pengertian yang luas: bahasa, atau, dalam pengertian yang lebih sempit: kalimat, kata-kata (berikut struktur, susunan, dan pilihan kata, atau bahkan intonasi pengekspresiannya), baik yang dikemukakan secara lisan maupun tulis merupakan wacana. Tidak ada bahasa, baik dalam pengertian yang luas maupun yang sempit, yang tidak berkaitan dengan wacana tertentu. Dalam bentuk yang sangat ekstrim, ”setiap kata mewakili sebuah wacana”. Perhatikan contoh-contoh berikut ini –setiap kata mewakili sebuah wacana:
(a) Kepentingan Nasional (b) Objektif
2. Dalam analisis wacana, selalu penting untuk memperhatikan tema sentral yang tersirat dalam kata (-kata) itu. Analisis wacana, dengan kata lain, selalu memperhatikan bagaimana sebuah kata itu diproduksi dalam sebuah konteks yang tertentu. Konteks lah yang melokalisasikan bagaimana kata itu berhubungan dengan kata-kata lainnya dan yang secara keseluruhan merupakan sebuah kompleksitas jaringan makna yang amat khusus. Perhatikan analisis berikut ini yang mencoba mengelaborasikan makna “kepentingan nasional” dalam sebuah nexus naratif yang sesungguhnya dibangun dari sebuah konsepsi Orde Baru tentang negara yang amat monolitik sekaligus hegemonik

Kepentingan Nasional Stabilitas Nasional Ideologi Nasional
Pembangunan Nasional Wawasan Nasional
Displin Nasional Kesetiakawanan Nasional Kepribadian Nasional
Kewaspadaan Nasional Ancaman Nasional


Perhatikan pula bagaimana istilah “objektif” yang tampatnya “netral” itu diproduksi oleh dan melalui wacana ”positivisme” –sebuah paradigma yang diadopsi dari pengalaman dan praktek ilmu eksak (science) yang memperlakukan dan melihat eksistensi objek ilmu sebagai berada diluar manusia dan yang karenanya senantiasa harus dapat dinyatakan dalam ukuran-ukuran yang tak dipengaruhi oleh kesadaran itu. Semua istilah yang disebut berikut ini, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama merupakan representasi dari beroperasinya wacana yang dituntun oleh paradigma itu.
Objektif Ilmiah Variabel Valid Realibel
Pengujian Teori Hipotesis Generalisasi
Definisi Operasional Indikator Pengukuran Standarisasi Pengukuran
Kuesioner Angket Wawancara Berstruktur
Indeks Skala Kuantifikasi Akurat Uji Statistik
Populasi Sampel Representatif Responden

3. Apa yang didemonstrasikan dalam butir (2) di atas sekaligus menegaskan, pertama, bagaimana analisis wacana memperlakukan bahasa sebagai bagian dari praktek sosial (social practice) dari pada semata-mata representasi dari aktivitas indivual. Kedua, analisis wacana menegaskan tentang bedanya hubungan dialektis di antara wacana dan struktur sosial sebagaimana juga dapat ditemukan dalam hubungan di antara praktek sosial dan struktur sosial. Yang disebut terakhir merupakan kondisi dan sekaligus efek dari yang disebut pertama. Ketiga, wacana dibentuk (shaped by) dan dikendalikan (constrained by) struktur sosial dalam pengertian yang seluas-luasnya dan dalam semua tatanan oleh klas dan berbagai hubungan sosial lainnya dalam masyarakat,oleh hubungan-hubungan spesifik yang terdapat dalam institusi sosial tertentu seperti hukum, pendidikan, oleh sistem klasifikasi, oleh norma dan berbagai konvensi lainnya. Wacana, karena itu, ditemukan secara beragam saling berkompetisi dan membentuk sebuah mosaik warna-warni, sebagian yang lain saling meniadakan. Dalam determinasi struktural, mereka bergantung pada domain sosial khusus (particular social domain) atau kerangka institusional (institutional framework) dari mana wacana itu dihasilkan. Keempat, pada sisi lain ,wacana adalah fundamental secara sosial. Artinya, wacana selalu melibatkan proses formasi objek, subjek dan konsep yang tidak saja secara pasif merepresentasikan realitas tetapi secara dialektis membuat realitas menjadi bermakna dengan mengkonstruksi realitas tersebut secara aktif.
4. Terdapat tiga hal penting dalam analisis wacana. Pertama, analasis wacana memberikan perhatian pada usaha mengidentifikasikan dua melokalisasikan identitas sosial dan posisi subjek. Kedua, analisis wacana membantu usaha mengkonstruksikan hubungan sosial di antara individu. Dan, ketiga, analisis wacana memberikan alat untuk mengkonstruksi sistem pengetahuan dan kepercayaan dua istilah yang dalam terminologi Marxis sering disebut dengan “ideologi”. Perhatikan pertanyaan berikut ini yang dikutip dari sebuah wawancara sebuah media dengan seorang pengusaha tambak udang:
Penjarahan itu jelas membuat kami merugi besar. Untuk kami, itu sama dengan sebuah perampokan dari pelecehan terhadap hukum yang berlaku. Orang-orang seperti itu tidak semestinya dibiarkan tanpa diambil tindakan yang keras, tegas dan segera.

Bandingkan dengan wawancara berikut ini dari peristiwa yang sama. Bedanya, kali ini adalah hasil wawacara dengan salah seorang penduduk sekitar yang ikut dalam apa yang oleh pengusaha tambak udang tersebut disebut dengan “penjarahan”:
Kami hanya mengambil bagian yang menurut kami merupakan hak kami. (Tambak-tambak) itu kan dulu punya kami yang dibeli dengan harga yang sama sekali tak sesuai. Apa yang kami lakukan tidak lebih hanya untuk memnuhi perut, bukan untuk mencetak uang. (Udang-udang yang kami ambil) itu adalah jatah kami.

Analisis Wacana:
Sebuah Kontras terhadap Metode Positivisme

Analisis wacana secara epistimologi menjadi bagian dari kekayaan khasanah metodologi kualitatif yang berperspektif posmodernisme. Ia beroperasi dengan sejumlah asumsi yang amat berbeda, untuk banyak hal bertentangan, dengan metode konvensional kuantitatif. Apabila metode kualitatif (yang asumsi-asumsi dasarnya tentang realitas amat ditentukan oleh paradigma positivisme itu) amat percaya pada kebenaran universal, metode kualitatif generasi akhir ini menjungkirbalikkan hampir seluruh kepercayaan dasar yang secara kukuh dipertahankan oleh paradigma positivisme. Beberapa perbedaan pokok di antara dua metode ini terletak di antaranya pada bagaimana mereka melihat individu dalam konteks sosial.
Bagi metode positive-kuantiantif, individu adalah representasi dari beroperasinya struktur sosial yang eksistensinya berada diluar kesadaran individu. Perilaku individu dalam konteks sosial, dalam pandangan paradigma ini, sepenuhnya dilihat sebagai hasil determinasi struktur atas individu. Individu dilihat sebagai aktor yang berperilaku, bahkan berperasaan, menurut script (naskah) yang terdapat dalam struktur. Apa yang dibayangkan sebagai struktur itu (yang didalamnya di antaranya berupa nilai, kepercayaan, ideologi, norma dan institusi) menjadi penentu tentang bagaimana individu merespon sebuah peristiwa sosial. Bisa dipahami apabila semangat utama dari penelitian yang berparadigma ini adalah memetakan pola-pola dan kecenderungan-kecenderungan umum tentang bagaimana struktur sosial yang berbeda itu menghasilkan disposisi dan perilaku individu, atau kelompok yang berbeda, ujung dari pengelanaan intelektual manusia semacam ini adalah ditemukannya dalil-dalil umum yang dihasilkan melalui upaya generalisasi atau fakta-fakta empiris yang dihasilkan melalui berbagai pengamatan yang terukur secara cermat dan yang terbandingkan dari satu tempat ketempat yang lain, dari satu waktu ke waktu lain.
Sementara itu, metode kualitatif berperspektif postmodernisme ini melihat realitas sosial dalam wajah-ganda (multifaces, multidimensional, multilayer, dan multitruth). Kebenaran tidak pernah tunggal dan selalu dipengaruhi oleh konteks yang didalamnya melibatkan proses evaluasi-reevaluasi, posisi-reposisi, dan negoisasi-renegoisasi. Individu tidak pernah dilihat sebagai agen yang secara aktif melakukan interpretasi atas struktur dan secara kreatif melakukan negoisasi terhadap makna yang dibangunnya menurut harapan-harapan dan pengalaman-pengalaman subjektifnya sebagai individu.
Dalam konteks sosial, individu selalu dilihat sebagai pribadi yang unik dan spesifik. Unik karena ia memiliki pengalaman-pengalaman yang khas, spesifik karena ia memiliki harapan-harapannya sendiri. dalam perspektif semacam ini, para penganut metode ini tidak pernah berhasrat untuk menemukan kedalaman (depth), kekayaan (richness), dan kompleksitas (complexity) dari sebuah realitas yang dilihatnya sebagai hasil konstruksi sosial melalui individu-individu yang secara aktif melakukan interpretasi subjektif dan intersubjektif atas struktur.
Untuk melakukan sebuah analisis wacana, karena itu, penguasaan teori dan konsep menjadi satu hal sentral. Teori-teori dan konsep-konsep tentang bagaimana sebuah realitas sosial itu bermakna secara sosial dalam sebuah nexus interaksi sosial dan kekuasaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari metode ini. Metode tidak lagi diperlukan semata-mata sebagai prosedur dan teknik, strategi, melainkan juga dan terutaman sebagai hasil. Sebagai penutup, teks yang dipelajari dalam analisis wacana selalu dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari usaha memahami indivdu (sebagai prosedur teks) yang tengah membangun makna dan menghadirkan realitas menurut konstruksi sosial dari mana ia menjadi bagian dan terlibat dalam prose itu. Teks, karena itu, selalu diperlakukan juga sebagai sebuah konteks yang merepresentasikan kompetisi makna yang amat majemuk dan yang selalu berimplikasi kepada hubungan yang berdimensi kekuasaan di antara prosedur teks dan audience yang untuk ketika yang lain juga menjadi prosedur teks.

Beberapa Latihan : Lokasisasi Wacana,(De/re)konstruksi dan Kompetisi Makna
1. Kelompokkanlah istilah-istilah berikut ini ke dalam dua kelompok yang masing-masing merepresentasikan wacana yang berbeda, bahkan mungkin berhadapan, tentang pembangunan. Setelah itu, buatlah sebuah narasi yang merefleksikan bagaimana masing-masing kelompok kata itu menghasilkan sederet ‘logika’ yang berbeda yang di dalamnya menyertakan sejumlah ekstrasi dan akumulasi ‘pengetahuan’ yang berimplikasi pada hadirnya praktek dan hubungan sosial yang berdimensi kekuasaan. (masing-masing wacana sekitar 500-700 kata)
(1) ekonomi kerakyatan
(2) petumbuhan ekonomi
(3) keadilan sosial
(4) “trickle-down effect”
(5) konglomerasi
(6) subsidi
(7) penciptaan kesejahteraan melalui mekanisme pasar
(8) kebijakan sebagai instrument perubahan yang memihak rakyat kecil
(9) padat modal
(10) pemerataan
(11) pajak bertingkat dan progesif
(12) kredit usaha dengan bunga di bawah pasar bagi golongan ekonomi lemah

2. Identifikasikanlah berbagai ekspresi yang khas dari wacana dominant Orde Baru tentang demokrasi. Susunlah ekspresi-ekspresi itu kedalam sebuah narasi yang mencerminkan gagasan sentral dalam wacana itu (500 sampai 1000 kata)
3. Petakan sekurang-kurangnya tiga wacana tentang perubahan di Indonesia yang satu sama lain sedang berkompetisi. Lakukanlah idedntifikasi terhadap kelompok yang mewakili masing-masing wacana itu.

Daftar Pustaka
Barret, M., 1991, The Politics of Truth: From Marx to Foucault, Oxford Polity Press.
Brown, G and Yule, G., 1983, Discourse Analysis, Cambridge, Cambridge University Press.
Coulthard, M., 1977, An Introduction to Discourse Analysis, London, Longman.
Fairclough, N., 1992, Discourse and Social Change,Cambridge: Polity Press.
Flax, J., 1992, “The End of Innocence” in Butler, J., and Scott,J., Eds, Feminist Theorize The Political, New York: Routledge, 445-463.
Foucault, M., 1972, The Archeology of Knowledge, London: Roufledge
Foucault, M., 1979, Discipline and Punish, New York: Random House.
Foucault, M., 1980, Power/Knowledge: Selected Interview and Other Writings, 1972-1977 (edited by Colin Gordon), Brighton: Penguin Books.
Foucault, M., 1990, History of Sexuality, London: Penguin Books.
Larrain, J., 1994, ”The Postmodernism Critique of Ideology”, Sociological Review, 2: 288-334.
Said,E., 1978, Orientalism: Western Conception Of The Orient, London: Routledge and Kegan.
Sparingga, D., 1997, Discourse, Democracy and Intellectuals in New Order Indonesia (Flinders University Australia: Phd. Thesis)
Van Dijk, C., Ed., 1985, Handbook of Discourse Analysis, London: Academic Press.
Weedon, C., 1987, Feminist Practice and Postructuralist Theory, Oxford: Basil Blackwell.
White, R., 1990, “Political Theory as an Object of Discourse”, Social Theory and Practice, 16: 85-100.

0 komentar: