14.52

KIAI, PESANTREN DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

KIAI, PESANTREN DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
oleh
Prof.DR.M.Ali Haidar, M.A.

Beberapa dekade lalu ahli Indonesia dan Belanda G.J.W. Drewes membuat analisis historis gerakan sufisme di Indonesia mengatakan cukup alasan untuk menyimpulkan melalui interaksi sejarah yang panjang Islam telah mejadi bagian begitu dalam menguasai batin masyarakat Indonesia. Islam berkembang di Indonesia melalui proses sejarah yang panjang dan kompleks yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan. Sebagian dapat dijelaskan melalui kegiatan perdagangan dan sosial keagamaan seperti perkawinan atau pengajaran yang berkembang sejak abad XI M. intensitas kegiatan-kegiatan tersebut menghasilkan tumbuhnya permukiman muslim di pesisir kepualauan Nusantara sepanjang abad XII-XVI. Melalui proses sejarah pergumulan sosial politik dan budaya yang panjang, dan kini cukup alasan untuk menyimpulkan Islam telah menjadi bagian terpenting identitas kemelayuan dan keindonesiaan, kultural, sosia; maupun politik.
Tentu saja keberhasilan Islam menembus akar kehidupan masyarakat di Nusantara, tak serta merta akar lamayang bersumber dari tradisi dan budaya setempat hilang sama sekali. Kondisi semacam ini juga dapat diamati ditempat lain di belahan bumi ini. Pergumulan atau lebih tepatnya interaksi, Islam dengan budaya lokal menuntut adanya penyesuaian terus menerus tanpa harus kehilangan ide aslinya sendiri. Penghadapan (agama) Islam dengan realitas sejarah, senantiasa akan memunculkan sebuah realitas baru. Hal ini bukan saja diakibatkan pergumulan internalnya sendiri menghadapi tentangan yang harus dijawab, tetapi juga keterlibatannya dalam proses sejarah yang harus dijawab sebagai pelaku yang ikut menentukna keadaan zaman. Dalam proses seperti ini Islam tidak saja harus “menjinakkan“ sasarannya, tetapi dirinya sendiri terpaksa harus “diperjinak“. Dengan demikian memberi keniscayaan terjadinya keagamaan dalam Islam sebagai akibat dari tuntutan ajarannya sendiri yang universal.
Islam bukan hanya dapat dilihat sebagai realitas agama, melainkan juga sebagai realita sejarah, budaya dan peradaban, sebab Islam sebagai agama telah bergumul dalam rentang sejarah yang panjang. Sebagai agama, Islam diturunkan bukan dalam ruang yang kosong, tetapi dalam masyarakat yang berbudaya, memiliki tradisi, harapan-harapan, paradigma pemikiran budaya, konstruksi sosial dan sejarahnya sendiri.
Bahasa kitab suci agama, dalam hal ini Al-Quran, adalah bahwa masyarakatnya, bahasa Arab. Bahkan komposisi bahasa Al-Quran tersusun dalambentuk yang puitis disebutkan karena alasan i’jaz (inimitability) mengingat masyarakat Arab dahulu menempatkan kemampuan berpuisi seseorang pada status sosial yang tinggi atau bahkan tertinggi. Sampai kini pun puisi-puisi Arab kuno disebut syi’r al-jabili-masih terwat dengan baik sebagai salah satu acuan karya sastra Arab. Dengan demikian agama dan budaya adalah suatu realitas yang berbeda. Keduanya menempati “ruang“ sendiri-sendiri. Agama adalah kebenaran absolut dan permanen, sementara kebenaran dalam budaya bersifat relatif (nisbi), hipotesis (iftiradi) dan dinamik (zu’alaqa bi al-quwwa). Mengingat agama adalah sesuatu yang absolut maka kebenaran agama diterima dengan kepercayaan (al-iman), ketulusan (al-ikhlas) dan kepasrahan (al-islam), sementara kebenaran dalam budaya diterima dengan pemahaman logika, kepatuhan, emosi dan senantiasa dalam dinamika perubahan.

Ketika agama berada dalam ruang budaya, karena agam dipeluk manusia dan pemahaman agama menggunakan media intuisi atau bahasa atau logika, yang terjadi adalah tarik menarik antara kemutlakan agama di satu pihak dari relatifitas budaya di pihak lain. Mungkin keduanya akan mengalami tumpang tindih saling klaim dengan tingkat kompleksitas yang rumit atau bahkan mengalami distorsi. Tetapi dalam realitas sejarah ketegangan antara keduanya juga acap kali melahirkan harmoni karena kebutuhan masing-masing untuk eksis dalam kehidupan universal.
Dalam kehidupan keseharian manusia seringkali tak sadar dan sulit membedakan mana agama dan mana budaya. Penyebutan Tuhan dengan ungkapan Allah- kadang diucapkan awloh atau alloh- sebagai klaim kebenaran simbolik. Boleh jadi akan menimbulkan ketegangn karena menafikan konsep yang substansinya sama tetapi dengan idiom bahasa yang berbeda yang tumbuh dari akar budaya yang berbeda. Klaim simbolik semacam itu tentu tak bisa mewadahi idiom bahasa yang tumbuh dari tradisi orang jawa muslim yang bersenandung di tengah malam dengan ungkapan “Duh Gusti Pangeran…” karena tak menyebut dengan ungkapan Allah. Meski kadang-kadang terjadi ketegangan, kedua idiom bahasa itu menempati ruang masing-masing dalam sistem budaya muslim Jawa seperti dikemukakan Clifford Geertz yang terkenal yaitu muslim santri, abangan dan priyayi. Pada sisi santri ada santri tradisional dan santri modern.
Jika diamati persebaran Islam ke luar semenanjung Arabia dalam rentang sejarah yang panjang menampakkan proses islamisasi yang beragam sejalan dengan pandangan diatas. Ada bagian-bagian wilayah, terutama yang berdekatan dengan jazirah itu, islamisasi berkembang dengan pola dominasi Arab yang kuat. Wilayah-wilayah itu semula memiliki tradisi, struktur sosial budaya, etnik dan bahasa yang berbeda dengan Arab tetapi kemudian berubah menjadi Arab. Konflik dan instabilitas politik dikawasan seperti Irak, Sudan, dan Somalia sekarang antara lain karena kuatnya pengaruh sistemkesukuan di tengah tuntutan nasionalisme yang digagas negara yang tentu saja akan mereduksi kekuasaan internal kesukuan. Hal ini mengingatkan pada susunan masyarakat Arab yang terdiri dari suku-suku (kabilah) pada zaman Nabi Muhammad sampai sekarang. Ide nasionalisme Arab yang digagas oleh Michel Aflak abad 19 dan Gamal Abdul Nasser abad 20 yang mencoba menggabungkan sejumlah negara Arab dalam satuan nasionalisme yang lebih luas adalah sebuah pengakuan terjadinya reduksi etnisitas lokal non Arab yang makin redup.
Disisi lain islamisasi ke wilayah Eropa dengan pola yang sama bukan saja tak mampu “menaklukan” elemen-elemen penting budaya Eropa walaupun keberadaan Islam di sana dalam kurun waktu yang panjang, bahkan Islam itu sendiri harus angkat kaki. Tak ada warisan budaya dan sosial kecuali sejumlah artefak yang bisu. Pola hubungan yang terjadi “Islam adalah Arab” tak mampu ”menjinakkan” Eropa seperti yang terjadi di Timur Tengah. Karya tuis sarjana muslim Eropa ketika itu semuanya dalam bentuk bahasa Arab. Sangat sedikit atau bahkan tak satu pun bisa dijumpai karya tulis dalam bahasa lokal Eropa. Ini berbeda dengan islamisasi yang terjadi kearah timur jazirah Arabia. Islam mampu bersinergi dengan kekuatan kultur lokal. Bahasa, tradisi maupun struktur sosial dan budaya bangsa-bangsa muslim di Asia sangat beragam berbasis etnik dan kultur lokal yang tetap eksis. Bahkan di beberapa kawasan terjadi pola adaptasi kultural dengan dipakainya modifikasi aksara Arab yang disesuaikan dengan bahasa lokal seperti penggunaan aksara arab Urdu (persia), Arab Hindi (pakistan, India, da Bagladesh) serta Arab Melayu atau Arab Jawi (Nusantara). Sebagian besar karya tulis muslim di kawasan ini di masa lalu menggunakan bahasa dan aksara Arab berbahasa lokal.
Pesantren adalah suatu entitas sosial budaya yang tumbuh dalam pola hubungan interaksi adaptif antara agama dan budaya seperti itu. Seperti halnya pada semua komunitas keagamaan, pesantren mulanya adalah kumpulan sekelompok orang yang berminat mempelajari kitab suci. Thaap awal tentu hanya sekadar belajar cara membaca dan melafalkan bunyi huruf kemudian berkembang untuk mengurai kandungan isi. Pada fase ini akan sangat mungkin setiap entitas budaya akan melahirkan intuisi dan hubungan-hubungan budaya yang berbeda. Ketika masyarakat harus melakukan transformasi ide dengan idiom bahasa kitab suci ke dalam realitas sosial pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan model atau idiom-idiom lokal yang mereka pahami.
Dalam Al-Quran ada kewajiban masyarakat untuk taat kepada ulu al-amr (pemegang otoritas) sangat mungkin makna frasa ini berbeda antar masyarakat stu dengan masyarakat lainnya karena berbeda struktur sosial dan budayanya. Masyarakat Arab tersusun dalam kabilah-kabilah yang eksklusif, bahkan rigid, boleh jadi mereka memaknai frasa itu adalah para pemimpin kabilah itu. Tetapi bagi masyarakat Nusantara yang hubugnan sosial antar etnik mereka begitu longgar makna frasa itu akan berbeda dengan struktur kekabilahan masyarakat Arab. Frasa itu dimaknai dalam konteks lokal yaitu “taat kepada kiai” yang pengaruhnya melewati batas etnik. Denga pendekatan ini lambat laun otoritas kiai memperoleh legitimasi keagamaan, dan tentu saja sosial budaya yang kuat di tengah masyarakatnya.
Pola adaptasi kultural yang dilakukan kiai pesantren dalam mengembangkan misi keagamaan juga bisa dilihat dalam hal bagaimana mereka menyinergikan antara nilai universal keagamaan dengan kebutuhan komunitas mereka. Mungkin tak banyak yang menyadari tata ruang pesantren lama, pesantren tradisional yang berdiri sebelum awal abad 20, umumnya tersusun dengan pola yang berbasis budaya Nusantara. Bangunan di tengah berdiri sebuah masjid, bagian utra arau kanan ketika orang salat di masjid adalah rumah kiai dan diseberang rumah kiai pondokan santri. Pola tata ruang ini adalah gambaran peta kosmologi dalam pewayangan.
Deretan wayang yang akan dimainkan dalang tersusun dengan pola yang sama, di tengah tertancap gunungan disebut pula pekayon atau kayon (konon berasal dari kata Arab al-kawn atau hayyun) berbentuk pohon yang melambangkan pusat kehidupan. Di sebelah kanan deretan para punggawa yang bijak dan sebelah kiri para durjana yang jahat. Posisi rumah kiai di bagian uatara melambangkan status sebagai pembimbing spiritual (murad) menuju kehidupan semesta (al-kawn) yang berpusat di masjid yang berada di tengah. Pondokan santri di seberang rumah kiai sebagai komunitas yang memerlukan bimbingan, disebut murid berarti orang yang dalam proses menjadi. Tetapi bisa jadi juga tata ruang pesantren sebagai bentuk protes terhadap keraton yang mereka anggap sebagai wilayah yang kotor dan penuh gejolak duniawi. Seperti kita ketahui tata ruang keraton di Jawa berkebalikan dengan tata ruang pesantren.
Dalam praktik di banyak pesantren azan panggilan shalat dilakukan menjelang akhir waktu shalat. Azan zuhur berkumandang antara pukul 13-14, azan ashar kadang-kadang pukul 4 sore dan isya bisa lewat pukul 8 malam. Penundaan kumandang azan itu mereka sesuaikan dengan kebutuhan untuk menjaga harmoni cultural agar kegiatan belajar di pesantren tak terganggu. Bangunan masjid pun terdiri atas dua ruang untuk menjaga kesakralan masjid, ruang dalam sebagai ruang utama dan ruang luar bisa dipakai kegiatan belajar mengajar. Sangat berbeda dengan struktur bangunan masjid di timur tengah yang hanya terdiri satu ruang. Sementara di kampung-kampung sekkitar pesantren azan panggilan shalat berkumandang tepat di awal waktu karena para petani umumnya selesai melakukan tugas sebelum waktu shalat tiba.
Pola adaptasi kultural semacam itu terbukti menghasilkan harmoni social dan pada tingkat tertentu member sumbangan penting penyerapan nilai-nilai Islam dalam bentuk baru budaya Nusantara. Beberapa keterangan menggambarkan keadaan pendidikan Islam abad 19 di Indonesia umumnya memberi kesan negative tentang pesantren, setidaknya jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah barat. Pemerintah hindia belanda sama sekali tidak menganggap penting, sehingga pesantren tidak pernah tercatat dalam laporan resmi pemerintah. Ketika berniat membuka sekolah untuk pribumi yang disesuaikan dengan tradisi masyarakat desa, pemerintah menganggap pesantren tidak tepat untuk itu. Menurut mereka, metode pengajaran membaca teks Arab yang hanya menghafal tanpa pengertian terlalu jelek. Tetapi pesantren ternyata mampu eksis dan beradaptasi seiring dengan modernisasi pendidikan di Indonesia. Meski bantuan dan perhatian yang diberikan Negara kepada pesantren tak sebanding dengan peran mereka. Kini pesantren mencapai jumlah 18.000 unit.
Lembaga pesantren memiliki cirri penting adanya kharisma kiai yang memimpin pesantren. Pengaruh pesantren di dalam masyarakat banyak ditentukan oleh tokoh kiai pendiri pesantren. Semakin besar pengaruh kiai, mungkin karena penilaian kualitas keilmuan atau karena jaringan kiai dengan kiai lain ketika mereka sama-sama menempuh pendidikan sebelumnya, maka pengaruh pesantren terebut semakin luas sampai melewati batas daerah tempat pesantren itu berada. Saifuddin Zuhri Zamakhsyari Dhofir dan Karel A. Steenbrink menjelaskan secara baik dengan berbagai variasi pendekatan yang berbeda tentang jaringan pesantren dan pengaruhnya dalam masyarakat.
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan formal sekolah, sebab hubungan guru murid yang terbangun di dalam pesantren tak sekadar institusional atau birokratik formal sekolah, tetapi berlanjut ketika para santri sudah keluar pesantren. Faktor ini menambah luasan pengaruh kiai jika santri pesantren yang tinggal di pondok berasal dari daerah-daerah di luar batas kecamatan, kabupaten atau bahkan propinsi. Di masa lalu Hasjim Asy’ari di Jawa Timur, Ambo Dale di Sulawesi Selatan atau Arsyad Banjar di Kalimantan adalah sebagian dari pemimpin pesantren yang memiliki santri berasal dari daerah yang sebarannya sangat luas. Sekarang Abdullah Faqin di Tuban, Ilyas Ruchiyat di Tasikmalaya merupakan contoh kiai pesantren yang sangat berpengaruh, memiliki santri yang berasal dari berbagai daerah. Juga Abu Bakar Ba’asyir di Ngruki Solo.
Salah satu aspek penting dalam kehidupan sosial pesantren ialah adanya hubungan genealogis antar kiai pesantren di Jawa, baik karena hubungan perkawinan atau keturunan. Ketika seorang kiai pesantren mengadakan hajatan yang terjadi adalah sebuah reuni keluarga besar antar kiai pesantren. Belakangan ketika program transmigrasi ke luar Jawa mulai dilaksanakan, maka santri yang menamatkan pendidikan pesantren di Jawa ikut pula menyebar dengan mendirikan pesantren baru di luar Jawa seperti Lampung, Sumatera Selatan atau Kalimantan. Dengan demikian jaringan hubungan antar pesantren semakin luas, tak sekadar jaringan kekerabatan, tetapi juga jaringan guru murid. Dua pesantren di Kediri dan Blitar Jawa TImur masing-masing memiliki “cabang” sampai lebih 30 pesantren yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan yang didirikan mantan santri yang kembali pulang ke daerah asal mereka maupun santri asal Jawa yang bertransmigrasi membuka pesantren di tempat mereka tinggal. Bahkan kini ada pesantren yang membuka jaringan ke luar negeri jiran Malaysia dan Brunei Darussalam.
Kini sebagian besar pesantren membuka madrasah formal, sebagian lagi juga membuka sekolah nono madrasah dan sebagian kecil membuka perguruan tinggi agama. Pesantren tipe ini menyusun kurikulum pengajarannya sesuai dengan standar kurikulum yang disusun pemerintah dengan berbagai variasi penambahan bobot kecakapan tertentu misalnya dalam bidang bahasa Inggris, arab atau fikih.
Selain itu ada pesantren yang tetap mempertahankan kurikulumnya sendiri, jenjang sekolah yang ditempuh para santri berbeda dengan pesantren tipe tertentu. Satuan mata pelajaran yang disusun tiap kelas lazimnya bukan berdasar penguasaan standar bahan ajar tertentu melainkan berdasar penguasaan sejumlah buku atau kitab tertentu. Di masa lalu sejumlah pesantren besar memiliki spesifikasi keilmuan tertentu seperti Tebuireng Jombang kiainya dikenal ahli hadist atau Lirboyo Kediri kiainya dikenal ahli ‘ilmu alat’ atau tata bahasa Arab dan ada pula pesantren yang kiainya dikenal ahli tafsir atau fikih. Selain itu, juga ada pesantren yang berciri aliran tarekat tertentu, secara berkala mengadakan ritual zikir dan mengajarkan ajaran tarekatnya.
Mungkin tidak terlalu banyak pesantren yang masih member pengajaran kanuragan, perdukunan atau beladiri. Pesantren tipe ini gejalanya makin menurun jumlahnya dan akhir-akhir ini digantikan padepokan yang didirikan oleh orang atau kelompok non kiai yang memiliki kemampuan supranatural. Biasanya padepokan ini memiliki jaringan klien para selebriti atau masyarakat umum yang memerlukan terapi non medic. Tetapi ketika sebagian besar pesantren harus menyesuaikan kurikulumnya dengan kurikulum standard pemerintah, spesifikasi keilmuan tersebut makin kehilangan pamor apalagi ketika perguruan tinggi (IAIN) yang menjadi acuannya sejak tahun 1986 membuka kelas pascasarjana.
Model kelembagaan pendidikan pesantren memiliki karakteristik yang khas. Kiai selaku pemegang otoritas merupakan sosok sentral dalam pesantren. Perannya dalam pengembangan pesantren maupun masyarakatnya adalah sosok yang dapat dilihat dalam beragam wajah. Mantan menteri pendidikan Prijono sangat tertarik model kelembagaan pesantren dan kiai. Oleh karena itu, Prijono ingin menerapkan model kelembagaan pendidikan pesantren dengna peran kekiaian dalam lembaga pendidikan farming yang didirikan dengan luas tanah 200 hektar di Wonosobo. Tetapi dia gagal dan mengatakan ‘karena saya bukan kiai’ lalu siapakah sosok kiai?
Ada dua hal yang mengakari kekuatan kiai. Pertama, kredibilitas moral. Kedua, kemampuan mempertahankan pranata social yang diinginkan. Tidak semua fungsionaris pesantren adalah ulama yang mempunyai kedudukan, wibawa dan pengaruh yang sama. Clifford Geertz mengemukakan kemampuan kiai pesantren dalam mengontrol perubahan nilai tak lepas dari peran kiai sebagai cultural broker (makelar budaya), penyaring arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri, mengajarkan hal-hal yang berguna dan membuang yang merusak. Kemampuan kiai pesantren telah terbukti dalam mengontrol nilai dan budaya.
Cara pandang mereka terhadap kiai berbeda. Geertz memandang kiai sebagai makelar budaya, mentransformasi nilai-nilai budaya dari luar (Arab) dan menjadikan nilai-nilai itu sebagai pola kehidupannya dan kemudian mengajarkan kepada komunitasnya. Pada dasarnya kiai bukan pelaku utama perubahan yang terjadi di masyarakatnya, karena dia hanya sebagai agen budaya. Sebaliknya Harikoshi memandang kiai sebagai pelaku perubahan yang terjadi.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang mereka. Menurut Horikoshi nilai-nilai kekiaian yang diajarkan kepada masyarakat itu pada hakekatnya merupakan nilai-nilai universal, konsep kosmologi maupun filosofinya. Sementara Geertz melihatnya sebagai unit mikro budaya. Konsep kiai menurut Horikoshi tersusun dalam strata ajengan kiai dan ustad atau ulama. Keduanya berbeda pengetahuan keagamaan mereka. Ustad atau ulama memperoleh pendidikan yang memadai karena itu pengetahuan agamanya cukup baik, sementara ajengan lebih karena keturunan. Tetapi keduanya memiliki pengaruh, wibawa dan charisma terhadap komunitas mereka.
Selain itu, ada yang memetakan kiai menjadi kiai konservatif, kiai adaptif dan kiai progresif. Pemetaan ini didasarkan atas respon kiai terhadap perubahan social yang terjadi. Kiai konservatif cenderung mempertahankan tradisi lama dan sulit menerima perubahan social, kiai progresif cenderung menerima, sementara itu kiai adaptif melakukan penyesuaian terhadap perubahan. Berkaitan dengan aspek cultural dan politik, dipetakan menjadi empat, yakni: kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik dan kiai panggung. Kategorisasi yang hampir serupa kiai dibedakan menjadi tiga varian, yaitu kiai spiritual, kiai politik dan kiai advokatif. Kategorisasi ini didasarkan pada orientasi kiai. Kiai spiritual lebih peduli pada masalah politik. Kiai advokatif menerjemahkan ajaran-ajaran agama untuk menggerakkan dan sekaligus memberdayakan masyarakat baik dalam bidang ekonomi, social, dan pendidikan bagi kehidupan masa depan ummat.
Fenomena menarik mengenai latar belakang pendidikan kiai. Umumnya kiai dengan latar belakang pendidikan formal seperti IAIN atau pendidikan sejenis di Timur Tengah kurang memiliki ketangguhan dalam menghadapi tantangan bersosialisasi di masyarakatnya disbanding kiai dengan pendidikan murni pesantren. Sebab umumnya mereka cenderung membangun jaringan mobilitas vertical, sementara kiai pendidikan pesantren membangun kekuatan akar ke bawah. Peluang kiai pendidikan formal untuk meneruskan pendidikan lanjutan mendorong mereka lebih tertarik membangun akses vertical atau symbol-simbol dan status social, sementara kiai pendidikan pesantren tidak memiliki peluang itu, mereka menekuni membangun basis ke akar rumput. Karena itu seringkali pengaruh mereka lebih mengakar kuat.
Sebenarnya kecenderungan kiai pesantren memasuki dunia politik terjadi sejak lama. Seperti disinggung di awal, penataan tata ruang pesantren di Jawa berkebalikan dengan tata ruang keraton. Hal ini mengindikasikan sikap oposisi pesantren terhadap keratin dan menganggapnya sebagai dunia kotor penuh intrik dan kepentingan duniawiah. Ketika zaman penjajahan pun banyak kiai pesantren memimpin pemberontakan melawan penjajah. Tetapi keterlibatan sejumlah kiai pesantren dalam politik akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang berbeda. Salah satu factor penting ialah kegamangan kalangan kiai pesantren menghadapi tantangan dunia di luar pesantren. Berpolitik dalam arti terpilih menjadi anggota legislative atau pejabat lewat pemilu sebagai akes utama untuk mengatasi ketidakberdayaan pesantren tersebut.
Beragam varian kiai yang disebutkan itu menunjukkan bahwa peran kiai tidak tunggal. Tetapi apapun varian yang dibuat sosok kiai pesantren sebagai pendidik dan guru merupakan arus utama dari semua wacana kekiaian. Selama ini pendidikan pesantren, seperti dikemukakan di atas lebih menekankan adaptasi cultural untuk mempertemukan nilai-nilai universal agama ke dalam entitas budaya untuk mencapai tingkat harmoni tertentu dengan kesalehan hidup, baik spiritual maupun social. Aspek ini penting, tetapi proses pendidikan era sekarang tidak cukup penekanan pada aspek ini saja. Mengacu pada pendekatan taksonomi bloom proses pendidikan haruslah mengemban tiga aspek sekaligus: kognitif, afektif, dan motorik. Hal serupa juga dikemukakan Al-Ghazali (12M) dengan konsep life skills, pendidikan haruslah mengembangkan kemampuan hidup bermasyarakat meliputi aspek agama (afektif) dan kemampuan hidup duniawi (kognitif dan motorik), yaitu memiliki karakter dan landasan moralitas sekaligus mampu memerankan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya di tengah kehidupan masyarakat.

0 komentar: